Penulis bukanlah seorang psikolog. Tetapi rasa-rasanya, melihat fenomena yang sedang menjamur akhir-akhir ini, penulis dapat menilainya dengan pemahaman sederhana penulis, yang sepertinya berkaitan dengan psikologi.Â
Sebelumnya, mohon maaf kepada para pembaca tulisan ini yang berasal dari kaum psikolog, ketika pemahaman penulis salah bahkan mungkin dianggap lancang terlalu kejauhan dari ranah ilmu ini. Intinya, penulis hanya ingin berbagi pandangan dalam upaya penulis mencari penyebab terjadinya mental “ikut-ikutan” ini.
Melirik kepada pengertian yang tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, psikologi adalah ilmu yang berkaitan dengan proses mental, baik normal maupun abnormal dan pengaruhnya pada perilaku. Atau juga bisa dipahami sebagai ilmu pengetahuan tentang gejala dan kegiatan jiwa. Nah, yang penulis ingin bahas lebih lanjut di sini adalah mental “ikut-ikutan”.
“Ikut-ikutan”. Sebuah fenomena yang nyata di depan mata terlihat, sedang dikerjakan manusia sekarang ini. Semua kalangan, tidak terlepas yang telah lanjut usia, kalangan paruh baya, generasi milenial, sampai kepada generasi Z, semuanya terhitung pasti terikut dalam arus fenomena ini. Iya, sebuah kebiasaan untuk mengikuti sesuatu, yang sedang hits atau populer dibahas di kalangan orang banyak.
Penyebaran sesuatu yang sedang hits gampangnya dimulai dari budaya getok tular, dari mulut ke mulut. Bagi orang yang memiliki tipe suka bercerita, mereka adalah alat yang efektif untuk percepatan penyebaran hal ini. Semua berawal dari kalimat gaul yang tren belakangan ini, “Eh, Lo tau gag sih?”. Selanjutnya, silakan pembaca membayangkan sendiri, hehe.
Belum lagi ketika ditambah pula dengan kemudahan akses dalam menggunakan teknologi informasi di zaman modern ini. Ini menjadikan semua informasi gampang diketahui oleh khalayak umum. Bahkan, tidak perlu memakan waktu lama untuk menjadikan sesuatu yang hits itu viral. Btw, emang ada ya, yang sedang hits tetapi tidak viral? Hehe.
Nah, contoh nyata dari “ikut-ikutan”, yang gampang ditemukan di sana dan disini, adalah menjamurnya sejumlah video orang yang suka menirukan aktivitas kebanyakan orang, yang sedang booming saat itu.Â
Ada pula yang berhasil termakan mengikuti tingkah dan jejak influencer yang sedang mereka amati. Ini belum lagi terhitung dengan perilaku nyata seorang fans dalam menggilai idolanya. Semua sisi, mulai dari busana, aksesoris, gaya bicara, dan lainnya, diikuti oleh fans yang tingkat kesukaannya kepada idola sudah mencapai titik klimaks ini.
Selama itu baik dan menghibur, tidak mengganggu aktivitas dan pekerjaan utama kita, serta bisa membuat hati kita menjadi gembira, yang alhasil efektif meningkatkan tingkat imunitas tubuh apalagi di masa pandemi Corona ini, dimana kita telah tahu bahwa imunitas bisa mengalahkan virus penyebab Covid19 ini dan telah terbukti secara ilmiah, “ikut-ikutan” sangat dipersilakan untuk dikerjakan. Contoh, ikut anjuran pemerintah untuk menerapkan protokol kesehatan yang ketat selama beraktivitas semasa pandemi Covid19 ini. Tentunya ini sangat direkomendasikan.
Tetapi, kalau sudah berbicara ke hal-hal yang jahat, meskipun dikemas dalam maksud yang seolah-olah baik, penulis tidak menyarankan untuk “ikut-ikutan”. Yang kedua ini semisal, ikut berkomplotan mencuri demi memenuhi kebutuhan ekonomi yang mendesak. Ini sama sekali tidak diperbolehkan.
Sekali lagi, penulis tidak sepenuhnya menyalahkan kebiasaan “ikut-ikutan” ini, karena penulis menyadari bahwa ada unsur natural manusia yang berperan di dalamnya. Lebih lengkap lagi, penulis berusaha menerka apa sih faktor internal dari dalam diri manusia yang menyebabkan “ikut-ikutan” ini gampang menjamur, seperti terlihat latah, bahkan karena telah terbiasa menjadi ternilai “wajar”. Ini sedikit pandangan dari penulis:
Rasa penasaran;
Mulai dari rasa sekedar ingin tahu apa sih yang sedang hits sekarang ini, kemudian dilanjut oleh siapa sih orang beken yang sedang hits itu, sampai kepada kesimpulan, “Sepertinya asyik ya bertingkah seperti itu. Coba ah!”. “Ikut-ikutan” pun tergenapi.
Semua ini memang tidak terlepas dari kenyataan bahwa kita tidak boleh tidak update dengan perkembangan yang sedang terjadi, dan selalu mengisi informasi di otak kita dengan hal-hal yang baru, agar tidak jenuh dan membosankan kehidupan ini.
Khusus bagi sebagian orang, apabila tidak terpuaskan dan tidak terjawab rasa penasaran ini, mereka tidak bisa tidur nyenyak semalaman. Katanya. Kalau yang sudah sering kita dengar dalam versi lagu Dangdut, yang tenar dinyanyikan oleh bang Rhoma Irama, kira-kira seperti ini, “Sungguh mati aku jadi penasaran, sampai mati pun akan ku perjuangkan.” Iya, tidak bisa tidur sepertinya mempercepat proses kematian, karena tubuh tidak diberi waktu untuk beristirahat, bekerja terus.
Kecintaan yang berlebihan;
Kalau dalam bahasa Korea Selatan, tenar istilah untuk fans yang sulit direm rasa cinta terhadap idolanya, dengan kata “Sasaeng”. Iya, para penggemar yang sangat obsesif atas idolanya, sampai-sampai terlibat dalam penguntilan yang merupakan pelanggaran privasi sang idola, mereka semua termasuk dalam kaum ini.
Semua ini memang karena cinta. Iya, cinta selain bisa menyebabkan kebahagiaan, bisa juga menjadi masalah, bila tidak dikelola secara bijak.
Sarana menambah teman;
Dimulai dari satu hobi yang sama, pertemanan bisa terjalin dengan baik. Bahkan tidak jarang dari kesamaan akan hobi inilah, pasangan suami istri bisa tercipta, hehe. Hayo, siapa pembaca yang seperti ini? Hehe.
Bila tercatat sebagai anggota komunitas, pastinya harus ikut menyukseskan kegiatan yang komunitas sedang kerjakan, yang mana tentunya telah disepakati terlebih dahulu oleh mayoritas anggota komunitas itu. Ini memang lebih kepada “ikut-ikutan” karena kesepakatan dan aturan, bukan karena didominasi oleh kehendak pribadi yang bersangkutan.
Ingin menjadi artis instan dengan senjata viral;
Selama konten itu berfaedah dan bermanfaat, adalah sangat baik untuk dibantu disebarkan, karena berdampak positif bagi perilaku orang yang menyaksikannya. Tetapi untuk sebaliknya, lebih baik kita pikirkan kembali ketika hendak menyebarkannya.
Gag ada kerjaan
Ya, selama dipandang untuk mengisi waktu luang, terlebih lagi bila yang akan diikuti adalah sebuah kegiatan yang produktif, adalah sangat baik “ikut-ikutan” ini. Daripada plonga-plongo, kesambet entar malah. hehe
Terlepas dari itu semua, ada lampu merah yang perlu menjadi peringatan dan pengingat bagi kita semua untuk berhenti "ikut-ikutan".Â
Apa itu? Adalah jangan sampai karena terbiasa "ikut-ikutan", malah menggerus jati diri kita sendiri, yang telah kita bangun sedemikian lamanya. Kita lupa kita ini siapa, dan nilai yang terkandung dalam diri kita sejatinya apa. Atau memang sedari awal, kita ingin membentuk jati diri kita seperti yang kita ikuti, ini lain lagi ceritanya.
Akhirnya, banyak kok yang lebih sukses menjadi trend setter daripada hanya sekedar menjadi follower, hehe.
Jakarta,
29 Juni 2020
Sang Babu Rakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H