Kemudian, oknum tersebut baru mendatangi penulis ketika keperluan penulis telah selesai dan hendak menyalakan motor untuk pulang ke rumah. Ya, lebih tepatnya ketika terlihat uang 2.000 rupiah sudah penulis keluarkan dari dalam dompet.Â
Apakah penulis dibantu dalam mengkondisikan motor agar gampang keluar dari parkiran? Sama sekali tidak. Yang penulis lihat hanyalah sebuah raut wajah yang penuh harap untuk menerima upah sebesar 2.000 rupiah tersebut. Ya, dialah oknum tukang parkir, yang penulis bingung temukan tersebut.
Mari kita berhitung-hitung sejenak. Karena penulis tinggal di Jakarta, biaya rata-rata parkir satu buah motor dibanderol 2.000 rupiah. Bagi penulis, biaya sekali parkir sejumlah 2.000 rupiah adalah nilai uang yang tidak seberapa (penulis bukan bermaksud untuk menyombongkan diri).Â
Nilai ini pun setara dengan biaya yang harus dikeluarkan ketika membayar ongkos untuk buang air kecil dan besar di toilet umum. Namun di sisi lain, ketika biaya ini terjadi berulang kali dalam sehari, entah itu ketika ke gerai minimarket, entah itu ketika nongkrong di cafe, entah itu ketika hanya sekedar ke ATM untuk mengambil uang, secara tidak sadar nilai biaya ini telah menjadi seberapa.Â
Bisa kali 10.000 rupiah keluar per hari hanya untuk membayar biaya ini. Nilai ini sudah mendekati harga lauk dan sayur tanpa nasi yang dibeli di warteg-warteg terdekat.
Bila ditinjau dari sisi tukang parkir, nilai ini bila diakumulasi rasa-rasanya menurut penulis bisa lebih besar dari upah buruh kasar yang bekerja dengan seluruh tenaga dan otot, bermandikan keringat, mengangkat belanjaan yang sangat berat, di pasar-pasar.Â
Bayangkan saja, semisal untuk satu gerai minimarket, biaya parkir setiap motor telah kita sepakati seharga 2.000 rupiah. Asumsikan satu hari setidaknya ada 100 motor yang mengunjungi gerai tersebut. Berarti, dalam satu hari, sang tukang parkir mendapatkan pemasukan sebesar 200.000 rupiah.Â
Itu baru satu hari, bagaimana kalau satu bulan? Bila dihitung selama satu bulan, dengan asumsi dia bekerja terus dan penuh setiap hari, tanpa bergantian, dan tanpa ada potongan yang wajib dibayar ke lokasi tempat dia bekerja, maka potensi pemasukannya menjadi 6.000.000 rupiah setiap bulan.
Atas dasar inilah, sepertinya sulit penulis untuk sepakat, apabila ada pernyataan yang menyatakan bahwa profesi tukang parkir adalah profesi dengan upah kecil (contoh kasus di Jakarta). Itu sangat besar.
Apalagi ketika 6.000.000 rupiah tersebut didapat hanya dengan duduk santai dan ongkang-ongkang (effortless), sementara di satu sisi para buruh kasar bekerja membanting tulang untuk memperolehnya. Mungkin lebih kecil malah. Seperti serasa ada ketidakadilan.
Lalu, bagaimana sikap penulis terhadap oknum tersebut? Ketika melihat pelayanan yang kurang baik, dan mengingat penulis tipikal orang yang suka menjauhi perdebatan yang tidak penting, maka 2.000 rupiah pun keluar dari dompet penulis atas dasar keikhlasan.