Inilah tulisan yang dibuat dalam rangka berbagi pengalaman dan emosi dari penulis. Mungkin tidak terlalu material untuk dibahas, tetapi karena sering terjadi berulang, maka penulis jadi ingin mengangkatnya sebagai judul tulisan ini.Â
Bukan bermaksud untuk menjatuhkan, melainkan sebagai sebuah saran dan masukan bagi yang tertegur ketika membaca, sehingga bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi ke depannya.
Seperti kita tahu, tukang parkir adalah profesi yang telah menjamur di mana-mana. Mulai dari perkantoran, Anjungan Tunai Mandiri (ATM), minimarket, pasar, rumah sakit, dan tempat-tempat pelayanan publik lainnya, pasti sangat gampang ditemukan sosok yang satu ini.Â
Profesi ini pun mudah sekali untuk dikerjakan dan dilamar, karena tidak membutuhkan persyaratan pendidikan yang tinggi-tinggi dalam perekrutannya. Iya, orang yang kerjaannya memarkirkan kendaraan orang lain, dialah tukang parkir namanya.
Dalam kondisi ideal, pelaksanaan tugas perparkiran adalah dimulai ketika pengunjung datang. Ketika datang, pengunjung seharusnya disambut dengan ramah dan diarahkan oleh sang tukang untuk parkir motornya di tempat yang telah tersedia, kosong tentunya. Setelah itu, selama pengunjung berbelanja (contoh kasus ketika di minimarket), sang tukang mengamati kendaraan pengunjung agar aman dari ulah para pencuri.Â
Kemudian, setelah proses belanja selesai, sang tukang pun menghampiri pengunjung tersebut, membantu menarik motornya ke belakang agar mudah untuk dikeluarkan, barulah menerima upah parkirnya. Kalau tukangnya ramah, biasanya terlontar pula dari bibirnya ucapan terima kasih.
Nah, ironinya, ada yang bertentangan dengan kondisi ideal tersebut. Penulis akan menyebut orang tersebut dengan julukan oknum. Mengapa hanya oknum yang penulis bahas?Â
Karena penulis yakin, masih banyak di luar sana, para tukang parkir yang benar-benar melaksanakan tugasnya di bidang perparkiran. Jadi, tulisan ini tidak bermaksud untuk menggeneralisasi.
Oknum adalah tukang parkir yang tidak menjalankan tugas perparkirannya dengan profesional. Gampangnya, sering ditemui di lapangan, ketika pengunjung (dalam hal ini penulis) datang, mereka, sang oknum, terlihat hanya duduk ongkang-ongkang dan mengobrol dengan teman di dekatnya.Â
Boro-boro berharap mereka untuk bersikap ramah, dilihat saja pun tidak. Malah terkadang, karena saking banyaknya jumlah orang yang asyik ngobrol tersebut, penulis bingung siapa sebetulnya yang menjadi tukang parkir. Sang oknum seperti tidak ada beban, santuy.