Pemimpi dan Perasa.Â
Keduanya nyata, hadir di kehidupan nyata, di sekitar kita. Entah dalam pergaulan dengan keluarga, teman sekantor, bertetangga, pasti ada di antara mereka yang termasuk ke dalam dua golongan ini. Untuk menggolongkan lebih jauh, mari kita kenal dulu siapa mereka.
Pemimpi.
Pemimpi adalah orang yang berimajinasi, memiliki harapan yang indah, dan cita-cita yang sebaik-baiknya. Dalam konteks ini, mimpi bisa disamakan dengan cita-cita, yang menekankan pada tujuan hidup yang ingin dicapai.
"Apa mimpimu nak?" tanya seorang ibu kepada anaknya.
Jadi dokter, "jawab sang anak.
Tidak tahu kenapa, kalau bukan dokter, pasti pilot. Itulah kebanyakan jawaban auto dari anak-anak. Jarang kita temui sang anak berkata bahwa dia bermimpi menjadi seorang youtuber ataupun selebgram, hehe. Entah ya, kalau anak zaman sekarang.
Pemimpi kebanyakan adalah orang yang memiliki visi bagus dan berpandangan jauh ke depan. Kalau orang sederhana berpikir sejauh satu meter, nah mereka ini sudah sampai sejauh satu kilometer, seribu kali lipatnya. Apalagi bila mereka berasal dari kalangan terdidik, biasanya melengkapi mimpinya dengan analisa segala upaya terbaik dan minim resiko, untuk merealisasikan mimpi tersebut.Â
Salah satu metode analisa yang dipakai yaitu SWOT, yang merupakan singkatan dari Strength (Kekuatan), Weakness (Kelemahan), Opportunity (Kesempatan), dan Thread (Ancaman). Mereka memetakan satu per satu dari elemen tersebut dan meramunya secara bijak agar visi/mimpi dapat tercapai.
Sebagai catatan, bahasan konteks di atas tentunya dikecualikan untuk sebagian orang, yang kata kebanyakan orang, punya kemampuan untuk bermimpi melihat masa depan. Iya, cenayang, bukan itu yang akan dibahas di sini, hehe.
Perasa.
Perasa disini bukanlah orang yang mudah tersinggung dan "baperan", sedikit-sedikit dibawa perasaan, sehingga terkadang sulit tertebak kapan saat dan bagaimana cara untuk bercanda dengannya.Â
Dalam pergaulan, kita memang perlu menganalisis kepada siapa lawan kita berbicara. Ketika dengan teman dekat, kita pasti mengenal dan sepakat poin-poin mana yang bisa dijadikan bahan bercandaan, karena telah terbiasa.Â
Di sini, bercanda berarti sama-sama tertawa bahagia tanpa ada yang terlukai. Sedangkan kepada orang yang tidak kita kenal dekat, lebih baik kita bermain aman dengan bersikap sopan dan berbicara dengan hormat, sehingga tidak ada perasaan yang terluka. Btw, kok jadi curhat, wkakakak.
Kembali fokus. Siapa yang dimaksud perasa di sini? Perasa adalah orang yang telah merasakan pengalaman hidup, dalam upaya dia menjalani kehidupan dengan sebaik-baiknya. Seluruh rasa kehidupan telah dialami, mulai dari manis, kecut, sampai kepada pahit getir.Â
Dalam kehidupan bersosial, kebanyakan perasa adalah orang yang mudah bersimpati dan berempati terhadap sesama, apalagi ketika sesama tersebut merasakan hal yang sama seperti yang dia telah alami.
Cukup ya ulasan teorinya, kita langsung praktik. Mari kita ambil contoh nyatanya untuk membedakan cerita mereka berdua, semisal dari dunia tarik suara, dunia yang penulis pribadi sangat sukai.
Bernyanyi adalah berkata-kata untuk menyampaikan pesan yang tersurat bahkan tersirat dalam lirik, serta dibunyikan dengan nada yang harmonis. Oleh seorang pemimpi, pastinya diharapkan sebuah proses bernyanyi yang tepat nada dengan menggunakan berbagai teknik, diantaranya intonasi, artikulasi, resonansi, dan lainnya, sehingga dapat memukau para pendengar, termasuk juri bila dilombakan. Kalau istilah tenarnya sekarang, flawless, tanpa cacat.
Namun ironinya, kebanyakan ketika para pemimpi bernyanyi, meskipun mereka sukses untuk berbagai kriteria di atas, mereka sulit memahami apa sebetulnya yang ingin disampaikan oleh lagu kepada pendengar. Ya, kebanyakan karena mereka belum merasakan pengalaman cerita yang dituliskan dalam lirik lagu tersebut.
Memang ada satu tips yang biasa diberikan oleh guru vokal kepada para penyanyi yang sama sekali "buta" tadi. Tips-nya adalah dengan membayangkan seolah-olah penyanyi sedang mengalami kejadian tersebut, kemudian memperkirakan apa perasaan yang bergejolak, dan makna tersirat apa yang hendak disampaikan.Â
Metode ini ampuh untuk membuat penyanyi masuk ke dalam lagunya, tetapi tetap saja kalah dengan penyanyi yang sudah pernah merasakan kejadian dalam lagu tersebut. Si perasa.
Bagi si perasa, secara tidak sadar ketika makna lagunya sedih, dengan tidak diminta dan tidak dengan pura-pura, dia langsung meneteskan air mata ketika menyanyikannya.Â
Ini tidak perlu diimajinasikan, karena sudah natural pasti terjadi. Nah, di sini, pesan dan emosi lagu lebih bisa tersampaikan secara efektif kepada pendengar, ketika lagu dinyanyikan oleh perasa, bukan si pemimpi.
Dan sebetulnya, yang paling tahu tentang makna yang mendalam dan rasa yang tersirat dari sebuah lagu adalah pencipta lagu itu sendiri, ketika dia tuliskan lirik tersebut dari sumber pengalaman pribadinya.
Yang terbaik adalah ketika penyanyi bisa bernyanyi dengan teknik yang baik, tanpa cacat, sekaligus juga berhasil menyampaikan pesan dengan emosi yang tepat, kepada para pendengar. Adakah yang seperti ini? Ada. Contohnya siapa? Pembaca jawab sendiri ya, hehe.
Akhirnya, tidak ada yang salah dengan menjadi pemimpi ataupun perasa. Kita perlu bermimpi untuk menggambarkan apa yang ingin kita capai dalam hidup ini. Kita pun perlu merasakan pengalaman nyata dalam upaya mencapai mimpi, agar mimpi tersebut tidak hanya sekedar khayalan, tetapi sukses menjadi kenyataan.
Seperti tulisan dalam kalimat bijak yang berkata, "Bukankah pengalaman adalah guru yang terbaik?"
Jadi, cukupkan diri kita menjadi pemimpi, rasakan pengalamannya, dan jadilah inspirasi bagi sesama dengan berbagi ceritanya.
Btw, pembaca termasuk cenderung yang mana nih, pemimpi atau perasa? Atau malah kombinasi dari keduanya? Hehe.
Jakarta,
4 Juli 2020.
Sang Babu Rakyat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H