Tulisan ini berangkat dari buah hasil pemikiran pribadi, setelah penulis menyaksikan sebuah acara diskusi yang telah tenar di salah satu televisi swasta Indonesia, dimana para pakar berkumpul dalam suatu ruang dan memperdebatkan hal-hal yang sedang hangat di negeri ini. Diskusi yang diselenggarakan pada hari Selasa, 18 Februari 2020 itu mengundang beberapa narasumber yang kompeten di bidangnya, dan salah satu panelisnya adalah Sujiwo Tejo, seorang budayawan yang penulis kagumi.
Selama berlangsungnya acara, ada satu bagian yang berhasil menyita perhatian penulis sampai-sampai penulis terpukau atasnya. Itu adalah bagian dimana Sujiwo Tejo berani menegur para narasumber, ketika Sujiwo Tejo sedang berpendapat. Saat itu, teguran beliau arahkan kepada ketiga narasumber, yang menurutnya telah mengganggu saatnya berpendapat. Kepada kedua narasumber yang pertama, dia berucap, "Tolong bijak selagi saya bicara" dan "Saya diam ketika kalian semua bicara”.Â
Kepada narasumber yang ketiga, dia tegur dengan perkataan, ”Saya lagi bicara, Saya tidak baca hape ketika Anda tadi bicara. Saya akan berhenti ngomong sebelum semua berhenti”. Dari sini penulis takjub dengan Sujiwo Tejo, dan mengerti betul bahwa beliau adalah seorang yang sangat menghormati orang ketika mereka berpendapat sekaligus sebagai orang yang juga ingin dihormati ketika sedang berpendapat. Adab, ya, adab, itu adalah salah satu ilmu kehidupan yang berhasil secara tersirat diajarkan Beliau kepada penulis.
Tidak semua orang pernah dilatih untuk berpendapat di muka umum, tidak semua orang berani mengutarakan pendapatnya di muka umum, tidak semua orang dapat dengan mudahnya menyusun argumentasi yang runut dalam membangun pendapatnya, dan tidak semua orang mendapatkan kesempatan untuk berpendapat.
Dalam sebuah rapat, biasanya dimulai dengan sajian paparan dari pemimpin rapat dan para narasumber, yang berisi data dan fakta, permasalahan yang akan dibahas, analisis yang dilakukan, kesimpulan, dan berujung kepada rekomendasi. Kemudian para peserta rapat yang hadir dipersilakan untuk memberikan pendapat, baik itu berupa masukan, pertanyaan, sanggahan, koreksi, atau hanya sekedar apresiasi atas rekomendasi yang disajikan.Â
Mengingat berpendapat adalah sebuah kelaziman dalam rapat, maka sebaiknya perlu kita mengerti dahulu adab di dalam berpendapat seperti yang telah Sujiwo Tejo ajarkan, agar rapat dapat berjalan dengan lancar dan tidak ada emosi yang tidak perlu, yang berlebihan tumpah ruah di sepanjang rapat. Tulisan ini juga dikuatkan dengan pengalaman demi pengalaman yang telah penulis lalui dalam setiap diskusi dan perdebatan yang terjadi.
Pendapat bisa dibaca sebagai suatu produk buatan manusia yang dihasilkan dalam rupa lisan maupun tulisan, berisi gagasan yang terbentuk dari sebuah pola pikir dan sudut pandang. Pendapat merupakan sebuah alat yang efektif untuk membaca apa saja yang terisi di dalam pikiran seseorang.Â
Kita tidak pernah tahu seseorang berpihak kepada yang benar atau yang salah selama dia belum mengeluarkan pendapatnya. Kita juga tidak pernah tahu cara pandang seseorang dalam melihat sebuah masalah dan bagaimana argumentasi yang dibangun dalam menyusun solusi, selama dia masih bisu dengan kata-kata pendapat. Meskipun akhirnya, manusia juga diberikan kesempatan untuk boleh tidak berpendapat, dimana ini hampir mirip dengan istilah abstain yang sering terdengar di lembaga perwakilan rakyat.
Sementara adab sendiri diartikan sebagai “kehalusan dan kebaikan budi pekerti, kesopanan, akhlak” (sumber:Kamus Besar Bahasa Indonesia). Adanya adab dalam berpendapat merupakan suatu wujud penghargaan dan penghormatan terhadap manusia. Sebelum kita bahas dari segi orang yang berpendapat, alangkah baiknya kita tengok adab seorang pemimpin rapat ketika memimpin rapat.
1. Sebisa mungkin beri kesempatan setiap orang yang hadir untuk berpendapat;
Dalam bunyi Pasal 28 UUD 1945, tertulis “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Dari sini dapat diartikan bahwa berpendapat adalah salah satu hak asasi manusia. Setiap orang bebas mengeluarkan pendapatnya, dengan tidak memandang apakah pendapat itu penting atau tidak penting, apakah pendapat itu sarat makna atau hanya sekadar basa-basi.
Ada hak, pasti ada kewajiban. Dari dulu, runtutannya yang wajar adalah kewajiban terlebih dahulu dilakukan, barulah layak untuk menerima hak. Di samping manusia berhak untuk berpendapat, ada kewajiban pula yang harus dia lakukan, yaitu bertanggung jawab atas setiap pendapat yang diutarakan.
Ketika dalam rapat, diskusi, musyawarah, atau apalah namanya, yang intinya adalah “rembugan” dalam mencari solusi atas setiap masalah, seluruh orang yang hadir di acara itu tidak ada satupun yang tidak berhak berpendapat. Semua peserta wajib diberikan kesempatan untuk berpendapat, entah itu mereka gunakan untuk berpendapat, atau mungkin hanya diam tanda setuju dengan yang sedang dibahas.
2. Beri konsentrasi penuh dan perhatian kepadanya ketika dia sedang mengutarakan pendapat;
Ya, ini sebuah bentuk menghargai orang yang sedang berpendapat. Sering kita jumpai dalam setiap rapat atau diskusi, ketika seseorang berpendapat, ada beberapa atau segelintir orang tidak mendengarkan dan tidak memberi perhatian, malah disibukkan dengan kegiatan lainnya, bermain smartphone salah satunya (ini pula yang termasuk salah satu teguran Sujiwo Tejo kepada narasumber).Â
Penulis secara pribadi menyayangkan hal ini terjadi, karena itu sangat melukai hati orang yang sedang berpendapat. Perasaan merasa diabaikan dan tidak diperhatikan mungkin menyelimuti hati orang yang sedang berpendapat. Sama ibaratnya dengan ketika kita memberi nasihat kepada anak kita tetapi kita tidak didengarkan, jengkel bukan? Harusnya itu tidak terjadi di dalam rapat, karena penulis yakin, setiap peserta yang hadir adalah orang yang tergolong sudah dewasa, yang bisa mengkondisikan diri secara tepat dalam setiap situasi.
Dari sisi orang yang sedang berpendapat, melihat bahwa orang lain memberi perhatian dan mendengarkan adalah sebuah semangat dan energi positif yang efektif menambah percaya diri si orang untuk menyelesaikan pendapatnya. Hal ini tentunya terlepas dari raut muka si pendengar.Â
Bagaimana cara kita tetap berusaha menyelesaikan pendapat sembari melihat ekspresi wajah pendengar, yang mungkin tersirat seolah-olah tidak setuju dengan kita atau bahkan seperti meremehkan pendapat kita, itu hanya masalah mental. Latihan mental tidak ada yang instan, perlu latihan dan pengulangan terus menerus. Seperti peribahasa mengatakan, “Alah bisa karena biasa”, maka mental pun menjadi kuat karena sudah terbiasa dilatih dan ditempa.
3. Beri waktu untuk dia selesai mengutarakan pendapatnya;
Adalah sebuah kesenangan bagi seseorang yang sedang berpendapat, ketika dia berhasil menyelesaikan pendapatnya sesuai dengan yang telah dia konsepkan. Hal ini bisa dipersamakan dengan orang yang hendak mudik dengan kendaraan bermotor. Sebelum mudik, pastinya dia sudah memastikan kondisi kendaraan bermotor yang akan dia gunakan dalam keadaan prima, memantau peta jalan yang akan dia lalui dengan harapan tidak ada kemacetan yang sering terjadi sepanjang perjalanannya, serta memakai alat pengaman yang diharuskan dalam berkendara.Â
Kebahagiaan pemudik tersebut adalah ketika dia berhasil tiba di kampungnya dengan selamat. Kebahagiaan seperti itulah yang sama dialami ketika seseorang telah selesai dan berhasil mengutarakan pendapatnya, yang telah dia bangun dengan cara pandang dia terhadap masalah yang sedang dibahas dan didukung dengan analisis terhadap data dan fakta.
4. Apresiasi ketika pendapat membantu dalam memberikan solusi atas masalah yang sedang dibahas.
Tidak ada salahnya memuji seseorang, ketika pendapatnya adalah sebuah solusi. Ini adalah sebuah wujud penghargaan dan ucapan terima kasih atas kontribusi pendapatnya dalam memecahkan masalah.
Sementara dari sisi orang yang akan berpendapat, orang tersebut kiranya perlu terlebih dahulu mematangkan konsep yang ada di benak pikirannya sebelum mengutarakan pendapatnya. Khusus untuk pengutaraan pendapat yang berujung pada pencarian solusi atas sebuah masalah, pendapat yang efektif dapat dibentuk melalui dan beradab disampaikan dengan cara:
1. Pemahaman akan masalah yang terjadi:
Terkadang banyak orang yang berpendapat tidak mengerti akar permasalahan yang sedang dibahas, sehingga pendapatnya sering dianggap orang “tidak nyambung”. Hal ini bisa disebabkan karena tidak runutnya orang tersebut dalam mengikuti penjelasan masalah yang dibahas, atau adanya ketidakmampuan dalam mengerti secara komprehensif khususnya sebab musabab masalahnya.Â
Oleh sebab itu, perlunya ada pemahaman konsep yang sama antara orang yang sedang menjelaskan masalah dengan orang yang hendak berpendapat. Memang diakui, tidak semua pendapat dapat menyelesaikan masalah sesuai dengan yang diinginkan, namun setidaknya minimal ada korelasi yang masuk akal antara masalah dengan pendapat yang disampaikan.
2. Pembelajaran yang efektif dari masalah-masalah lain yang hampir serupa dengan masalah yang sedang dibahas;
Solusi bisa ditemukan dari hasil pembelajaran akan sesuatu yang telah terjadi sebelumnya, yang isinya hampir serupa dengan masalah yang sedang dibahas. Solusi-solusi yang telah diambil dalam pemecahan masalah di masa lalu dapat menjadi pertimbangan dalam menyusun solusi atas masalah yang sedang dibahas, tentunya dengan segala penyesuaian yang terjadi di masa kini.
3. Penyusunan solusi yang memecahkan masalah.
Cara sederhana dalam menyusun sebuah solusi atas masalah adalah dengan berhasil menemukan jawaban atas pertanyaan apa, mengapa, dimana, kapan, siapa, dan bagaimana masalah itu bisa terjadi (dalam Bahasa Inggris terkenal dengan istilah 5W1H).
4. Menunggu sampai dipersilakan berpendapat dan berpendapat setelah orang lain selesai berpendapat.
Pernahkan kita dengar orang-orang berpendapat bersamaan dengan isi pendapat yang tidak seragam? Ya, itu layaknya sebuah pasar, dimana hanya kebisingan yang terdengar. Janganlah kita berbicara sebelum dipersilakan, karena itu tidak sopan. Hal ini sama seperti tamu yang tidak boleh masuk ke rumah orang, sebelum sang tuan rumah membuka pintu rumahnya dan mempersilakan tamu masuk.
Di samping itu, berpendapat setelah orang lain selesai berpendapat, efektif mampu membuat pendapat kita jelas didengar orang, sehingga mereka paham dan berhasil menangkap betul akan maksud dan logika yang ingin kita sampaikan.
5. Disampaikan dengan tata bahasa yang sopan dan tidak menyakiti perasaan orang lain.
Pendapat yang bagus akan lebih sempurna lagi apabila disampaikan dengan tutur kata yang sopan dan emosi yang stabil, sehingga dapat didengar oleh pendengar dengan tenang dan mempermudah orang-orang untuk mengerti apa isi pendapat kita.
Langkah-langkah sebagaimana tersebut di atas perlu dilalui agar pendapat kita sarat makna sehingga tidak dianggap hanya sekedar omong kosong belaka, dan kita dipandang sebagai orang yang beradab dalam berpendapat.
Lebih lanjut, berdasarkan pengamatan penulis selama melihat jalannya diskusi yang terjadi dalam rapat di kantor, sampai dengan menyaksikan perdebatan yang disajikan di televisi nasional, memotong pembicaraan, terutama menyela orang yang sedang berpendapat, adalah sangat menjengkelkan. Mengapa menjengkelkan? Karena di tengah jalan, dia telah memotong alur pikir orang yang sedang berpendapat, dan kebanyakan orang tidak suka akan itu.
Banyak orang tahu tentang hal ini tetapi banyak juga yang tidak melakukannya. Entah itu karena kebiasaan yang sudah mendarah daging atau karena emosi melihat pendapat orang lain tidak sejalan dengan pendapatnya, penulis tidak dapat menebaknya secara tepat. Lebih jauh lagi, penulis memperkirakan setidaknya ada empat alasan yang memungkinkan seseorang memotong pembicaraan orang lain:
1. Orang itu, sang pemotong, terlalu bersemangat sampai menggebu-gebu, sehingga tidak sabar ingin lekas mengutarakan pendapatnya, meskipun itu di tengah pendapat orang yang belum selesai didengarnya;
2. Ada alur pikir yang tergambar dalam pendapat si pembicara yang tidak tepat dengan si pemotong, sehingga si pemotong merasa perlu untuk meluruskannya;
3. Ada keperluan lain yang mendesak yang harus dihadiri si pemotong, sehingga tidak ada waktu lagi hanya untuk sekedar menunggu gilirannya dipersilakan berpendapat; dan
4. Mungkin itu memang hobi si pemotong, menjatuhkan orang lain (Ah, jelek kali pemikiran penulis untuk poin yang satu ini).
Bagaimanapun itu, sebisa mungkin kebiasaan memotong orang dalam berpendapat dihindari dalam adab berpendapat.
Akhirnya, walaupun setiap orang bebas berpendapat, tetap jadilah bijak dalam berpendapat, berpendapatlah secara beradab, dan hormatilah setiap pendapat orang.Â
Penulis sendiri senang karena telah berpendapat tentang adab berpendapat.Â
Terima kasih Sujiwo Tejo, atas inspirasinya.
Jakarta,
8 Juni 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H