Data pasien penderita COVID-19 yang dinyatakan telah sembuh tercatat sebanyak 8.406 orang, atau setara dengan 29,77% dari jumlah pasien yang terkonfirmasi.
Sementara itu, jumlah pasien meninggal tercatat sejumlah 1.698 orang, sama dengan 6,01% dari jumlah pasien yang terkonfirmasi.
Sisanya, sebanyak 18.129 orang (64,21%) masih berstatus pasien dalam proses perawatan. Data ini diperoleh informasinya dari situs Kementerian Kesehatan per hari Kamis, 4 Juni 2020 pada pukul 08.30 WIB.
Dari data tersebut, dapat disimpulkan bahwa persentase jumlah pasien yang sembuh lebih besar daripada persentase pasien yang meninggal. Bukankah ini adalah sebuah kabar yang tergolong menggembirakan?
Kabar gembira ini sepertinya berpotensi efektif untuk meningkatkan keberanian sebagian masyarakat untuk kembali beraktivitas di luar rumah.
Mungkin pikir mereka, “Buat apa kami takut dengan Corona, toh nyatanya data pemerintah menunjukkan lebih banyak yang sembuh daripada yang meninggal. Berarti Corona bisa dikalahkan secara alamiah dong dengan antibodi di tubuh kami.”
Pemikiran ini sepertinya sudah diantisipasi oleh pemerintah. Ya, pemerintah juga tidak menampikkan kenyataan bahwa ekonomi harus terus berputar agar negara ini tetap jalan.
Dan dalam perputaran itu, ada kemungkinan beberapa aktivitas harus dilakukan di luar rumah dan tatap muka secara langsung tidak dapat terelakkan.
Selain itu, seperti yang telah dikemukakan oleh para ilmuwan, virus Corona penyebab COVID-19 ini tidak dapat serta merta langsung hilang dengan sendirinya.
Oleh sebab itu, kini, salah satu solusi yang ditawarkan oleh pemerintah adalah berdamai dengan COVID-19, sampai akhirnya vaksin yang benar-benar efektif menyembuhkan penyakit COVID-19 ini telah berhasil ditemukan.
Perdamaian dengan COVID-19.
Perdamaian dengan COVID-19 di sini berarti adanya penyesuaian baru manusia dalam tatanan kehidupan yang diakibatkan oleh COVID-19. Diakui, telah terjadi perubahan tatanan kehidupan antara sebelum adanya virus Corona dengan setelah virus ini merebak di Indonesia.
Seperti misalnya, banyak yang bekerja dari rumah, banyak yang melakukan pertemuan secara virtual, dan masih banyak lagi, yang kesemuanya itu merupakan awal dari “New Normal” yang akan dijalani. Dan wujud nyata dari perdamaian ini adalah hidup berdampingan dengan COVID-19.
Hidup berdampingan dengan COVID-19 dapat sukses dilaksanakan jika didukung secara optimal oleh tridaya manusia.
Apa itu? Tridaya manusia adalah sebuah konsep dalam kebudayaan yang menekankan pada tiga kekuatan besar yang dimiliki oleh manusia secara alamiah. Yang pertama adalah “Cipta”, kemudian yang kedua adalah “Rasa”, dan diikuti terakhir dengan “Karsa”.
Untuk lebih jelasnya, berikut pemahaman sederhana yang akan penulis ulas tentang konsep tridaya manusia, dengan sudut pandang berdasarkan arti kata dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI):
Cipta
Cipta adalah kemampuan pikiran untuk mengadakan sesuatu yang baru, angan-angan yang kreatif. Di sini, penulis memahaminya sebagai sebuah ide atau gagasan kreatif manusia dalam mengadakan sesuatu yang baru.
Di tengah usaha manusia berdamai dengan virus Corona sekarang ini, tidak menutup kemungkinan masih terdapat pasien positif Covid-19, yang jumlah penambahannya kita tidak pernah tahu akan berhenti sampai kapan. Diakui pula bahwa pemerintah butuh bantuan dan kerja sama dari semua pihak dalam menangani hal ini, karena sulit kalau dikerjakan sendirian.
Syukurnya, hal ini ditolong oleh beberapa pihak yang tergerak untuk bersama-sama  bergotong royong, melalui ciptaan dan kreasinya, menghasilkan produk yang membantu dalam menangani COVID-19.
Ada universitas ternama yang mengklaim telah berhasil menemukan senyawa antivirus COVID-19 melalui hasil penelitiannya. Ada beberapa perusahaan baik BUMN maupun swasta yang memproduksi ventilator (alat bantu pernapasan) dalam jumlah banyak.
Di samping itu, oleh sebab raungan yang terdengar di beberapa daerah terkait kekurangan jumlah Alat Pelindung Diri (APD) bagi para tenaga kesehatan, beberapa perusahaan tekstil ada yang mengalihkan produksinya, dari semula berproduksi garmen menjadi berproduksi APD.
Lebih jauh lagi, tercatat ada pula yang berkreasi dalam pembuatan masker (salah satu APD), dengan membuat gambar yang lucu di muka masker, sehingga masker bukan menjadi sesuatu hal yang ditakuti, melainkan malah menarik untuk dipakai.
Ya, semua ini diciptakan sebagai perlengkapan bagi masyarakat untuk dapat bertahan hidup berdampingan dengan COVID-19.
Rasa
Salah satu arti dari “rasa” menurut KBBI adalah tanggapan hati terhadap sesuatu. Bisa dicontohkan dengan kesedihan, ketakutan, kesenangan, dan lain-lain, termasuk hati yang berempati.
Di saat seperti ini, bisakah kita bayangkan apa dampak ketika kita bertindak sembrono, salah satunya dengan keluar rumah membentuk kerumunan massal dengan tidak mematuhi protokol kesehatan yang telah dianjurkan?
Itu hanya akan mengakibatkan potensi jumlah masyarakat yang beralih dari masyarakat sehat menjadi berstatus pasien COVID-19 semakin bertambah banyak, sementara di satu sisi, kita tahu jumlah tenaga kesehatan dan fasilitas layanan kesehatan rujukan sangat terbatas.Â
Selanjutnya, ini akan berpotensi besar mengarah kepada status over capacity pada fasilitas layanan kesehatan dan terjadinya kekurangan tenaga kesehatan dalam melayani pasien yang berobat.
Imbas negatifnya adalah banyaknya pasien yang tidak dapat tertangani dengan baik, sehingga potensi kesembuhan mereka untuk menjadi negatif COVID-19 ini akan semakin lama. Tegakah kita bila semua ini terjadi?
Lebih lanjut, khusus bagi orang-orang yang tersimak belum lama ini di media massa elektronik, mereka yang bergerombol sedang memuaskan keinginan mata mereka dengan berbelanja kebutuhan sandang baru di pusat-pusat perbelanjaan, ada satu pertanyaan yang sempat tebersit di benak penulis.Â
Apakah berbelanja kebutuhan sandang adalah sesuatu yang sangat mendesak untuk dipenuhi saat-saat ini? Pertanyaan ini berangkat dari pendengaran penulis akan berita yang sering terdengar, yaitu banyak orang mati kelaparan karena tidak makan, sementara orang yang mati karena tidak mengenakan sandang baru, sepertinya belum ada.
Tentunya, sandang yang lama, yang tidak diperbaharui itu, juga harus rajin dicuci ya, karena ketika kotor dikenakan di badan, bisa menjadi sumber penyakit juga. Jadi, tidak bisakah untuk sementara ini saja, kita kalahkan keinginan kita ini demi mendukung perlambatan penyebaran virus Corona?
Di sisi lain, tidak cukupkah kita dengar berita tentang jumlah tenaga kesehatan yang telah wafat dalam usaha mengobati penderita COVID-19? Meskipun COVID-19 dikenal sebagai virus yang masuk lewat saluran pernapasan, namun pada kenyataannya, tidak hanya dokter paru-paru yang mangkat, tetapi dokter umum, dokter spesialis di bidang lain, perawat, dan tenaga kesehatan lainnya.
Tidakkah seyogianya kita punya rasa empati untuk meringankan beban para tenaga kesehatan, dengan cara berupaya sekuat mungkin untuk tidak menjadi pasien COVID-19? Hal ini tentunya diluar donasi sebagian orang yang telah membantu penyediaan APD bagi beberapa rumah sakit dan perhatian pemerintah melalui pemberian insentif bagi para tenaga kesehatan.
Di sini, rasa empati (yang menurut KBBI ditegaskan sebagai keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain) terhadap sesama, merasa senasib dan sepenanggungan, sama-sama menderita akibat COVID-19, menjadi nomor satu dan harus dimiliki oleh semua orang dalam hidupnya beraktivitas berdampingan dengan COVID-19.
- Karsa
Karsa diartikan salah satunya sebagai kehendak, niat. Sekarang, kesamaan niat dan kehendak untuk hidup berdampingan dengan virus Corona, yaitu dengan selalu menggunakan protokol kesehatan dalam pergaulan dengan siapapun, khususnya ketika beraktivitas di luar rumah, harus dimiliki oleh seluruh masyarakat Indonesia.Â
Apakah pada kenyataannya di lapangan masih ada yang seperti ini? Masih ada. Masih ada mereka yang tetap setia menggunakan masker ketika berkegiatan yang bersifat mendesak di ruang publik.
Masih ada mereka yang menjaga jarak dan melakukan physical distancing ketika bergaul. Masih ada pula masyarakat yang terlihat menyediakan sabun cuci tangan dan air di setiap depan gang dan di depan rumah mereka (untuk setiap tamu yang hendak bertamu).
Jumlah mereka ini seyogianya harus semakin banyak dari hari ke sehari. Ya, harapan ini masih dimiliki oleh sebagian orang. Hal ini terlihat dari upaya sebagian masyarakat yang tidak henti-hentinya mengingatkan sesamanya lewat media sosial, tentang penyebaran informasi protokol kesehatan.
Akhirnya, berdamai di sini bukan berarti bertindak masa bodoh, tetapi mengoptimalkan tridaya manusia secara bijak untuk bertahan hidup berdampingan dengan COVID-19.
Jangan pernah hilang asa dan tetap semangat!!
Jakarta,
4 Juni 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H