Kalau untuk membentuk image supaya dilihat orang, bahwa kita adalah orang yang rajin ibadah, penulis yakin kerajinan peribadatan kita tidak akan bertahan untuk kurun waktu yang lama. Hal ini karena upaya membentuk citra diri menjadi pribadi yang baik supaya dilihat banyak orang adalah pekerjaan yang melelahkan. Kita terlalu sibuk memikirkan apa penilaian orang terhadap kita, sementara kita melupakan esensi utama dari perbuatan yang kita lakukan.
Apa salahnya ketika kerajinan beribadah itu kita tularkan juga untuk kegiatan sehari-hari? Tidak ada yang salah, justru malah sangat bermanfaat. Diakui memang, untuk berbuat sesuatu, seseorang butuh motivasi. Maka anggap saja dan bayangkan seolah-olah segala sesuatu yang kita kerjakan di kehidupan sehari-hari, kita kerjakan sebagai bentuk peribadatan kita kepada Tuhan, pasti kita akan ikhlas dan senang mengerjakannya.
Toh nyatanya memang, Tuhan tidak pernah suka dengan perbuatan malas yang dimiliki orang. Dia akan memberi berkat kepada orang sesuai dengan hasil pekerjaan tangannya.
Diri sendiri
Menurut penulis, kebiasaan dapat digambarkan sebagai sebuah perbuatan melakukan sesuatu secara berulang-ulang, sehingga terpatri dalam diri menjadi sebuah karakter, yang identik dan melekat pada diri sendiri. Seseorang manusia tidak akan mampu mengerjakan sebuah kebiasaan, kalau tidak ada rasa di dalamnya. Kalau dia mampu tanpa rasa, sesungguhnya dia bukan manusia, tetapi robot yang bertulang dan diselimuti daging.
Begitulah juga rasa malas. Ketika malas menjadi sebuah kebiasaan, tanpa sadar itu telah melekat menjadi karakter kita. Mungkin kita tidak menyadarinya, tetapi orang lain di sekitar kita melihat dan menilainya.
Adapun amunisi yang secara alami dapat diperoleh dari diri sendiri untuk membumihanguskan rasa malas itu hanya ada tiga:
- Niat. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, salah satu arti dari niat adalah maksud atau tujuan suatu perbuatan. Segala sesuatu dimulai dari niat. Ketika hendak berbuat baik, niat baik itu harus menjadi awalnya. Begitu pula dengan malas, ketika kita hendak membumihanguskan rasa malas, pastikan niat untuk rajin sudah muncul terlebih dahulu dalam benak kita.
- Perbuatan. Cukupkah niat saja? Tidak, niat itu hanya sebatas ucapan dan buah pikiran, tetapi belum menjadi nyata ketika belum diejawantahkan dalam bentuk perbuatan. Niat itu abstrak, konkretnya adalah perbuatan.
- Komitmen. Sempurnakanlah niat dan perbuatan dengan komitmen. Janji untuk mengulangi niat rajin dan berbuat rajin, itulah komitmen.
Sadarkah kita, ketika malas, banyak waktu yang terbuang, kita tidak berbuat apa-apa, sementara waktu terus berjalan dan kita menua. Ketika rajin, penggunaan waktu menjadi efektif, hidup kita menjadi lebih berguna, dan banyak pengalaman hidup yang bisa kita rasakan dan ceritakan melalui perbuatan demi perbuatan yang telah rajin kita lakukan.
Jadi, apakah kita masih sepakat untuk menyatakan bahwa malas adalah musuh yang harus dibumihanguskan?
Atau jangan-jangan kita sudah mencintai rasa malas dan menjadikannya teman bahkan mungkin abadi di dalam kehidupan?