Satu hal yang menjadi kerisauan saya pribadi sepanjang Era Reformasi adalah meredupnya gagasan tentang pembangunan ekonomi di Indonesia. Sebagaimana telah pernah saya kemukakan dalam suatu tulisan sesaat setelah wafatnya Prof. Widjojo Nitisastro, Widjojonomics vs Habibienomics adalah diskursus dan sekaligus pertarungan politik yang terakhir di seputar kebijakan ekonomi di Indonesia. Tragisnya, Habibienomics justru menghilang dari arena persis ketika Prof. B.J. Habibie menjabat sebagai Presiden di negeri ini. Pemerintahan demi pemerintahan telah silih berganti, namun ‘nomics-nomics’ berikutnya belum juga kunjung muncul. Ada apakah? Adakah karena neoliberalisasi telah mencapai puncak kejayaannya dengan menempatkan supremasi mekanisme pasar sebagai institusi yang paling efisien, paling efektif, dan paling absah dalam pengalokasian sumber-sumber daya ekonomi? Ataukah tiadanya figur sekaliber Prof. Sarbini Somawinata, Prof. Soemitro Djojohadikusumo, Prof. Widjojo Nitisastro, ataupun sekaliber Prof. B.J. Habibie dalam menawarkan gagasan tentang pembangunan ekonomi negeri ini? Padahal, kondisi riel perekonomian negeri ini hari-hari ini menghendaki tidak dapat ditunda-tundanya lagi terapi yang komprehensif dan terintegrasi.
Minggu malam 15 Juni 2014 ketika menyaksikan debat kebijakan ekonomi antara dua orang Calon Presiden RI yang hendak bersaing dapam Pilpres 2014, pertanyaan yang segera terbesit di benak saya adalah: Adakah Pemerintahan yang akan terbentuk nanti akan menghadirkan Prabowonomics ataukah Jokowinomics?
Kalau kebijakan ekonomi kita pahami sebagai rumusan tentang interplay antara negara vis-à-vis pasar [domestik maupun global] dalam proses pengalokasian sumber-sumber daya ekonomi, tidak berlebihan kiranya untuk mengatakan betapa Prabowo Subianto lebih jelas menampilkan sosok kebijakan ekonominya. Walau kedua Capres sama-sama mengklaim kebijakan ekonominya sebagai ekonomi kerakyatan; akan tetapi, sejak menghadapi pertanyaan pertama Prabowo Subianto dengan tegas merumuskan peran negara vis-à-vis pasar: Negara tidak hanya berperan sebagai wasit, akan tetapi akan terlibat dalam perekonomian untuk memperkuat ekonomi rakyat. Pertanyaan yang segera menggoda adalah: dengan cara bagaimanakah negara akan terlibat dalam perekonomian? Prabowo menyatakan akan memperkuat koperasi dan usaha kecil dan menengah.
Pilihan untuk memperkuat koperasi dan usaha kecil dan menengah barangkali terasa kurang mengandung sesuatu yang baru. Akan tetapi, PENOLAKAN PERAN NEGARA HANYA SEBAGAI WASIT dan rumusan yang lugas betapa NEGARA AKAN TERLIBAT DALAM PEREKONOMIAN UNTUK MEMPERKUAT EKONOMI RAKYAT adalah rumusan kebijakan ekonomi yang secara terang-terangan MENENTANG PRINSIP-PRINSIP DASAR NEOLIBERALISME yang menghendaki supremasi pasar seraya meminimalisir peran negara dalam perekonomian. Pada titik ini, dimensi ideologis dalam agenda kebijakan ekonomi Prabowo Subianto terdeteksi secara jelas!
Jika ideologi diartikan sebagai seperangkat gagasan yang membentuk kesadaran individu-individu sehingga menjadi aktor yang sadar untuk melanggengkan ataukah mentransformasikan tatanan sosial yang ada (lihat! Göran Therborn, The Ideology of Power and the Power of Ideology. London: Verso, 1980), maka agenda kebijakan ekonomi Prabowo Subianto terasa mengandung anasir-anasir transformatif, yakni hendak mentransformasikan tatanan ekonomi neoliberalisme ke arah tatanan ekonomi yang bercorak nasionalistik-kerakyatan.
Dimensi nasionalistik dalam agenda kebijakan ekonominya terungkap secara jelas tatkala Prabowo Subianto berkali-kali secara terang-terangan mengkritisi besarnya aliran sumber-sumber daya ekonomi dari Indonesia ke luar negeri, bahkan menggagas kemungkinan renegosiasi kontrak-kontrak kerjasama antara Indonesia dengan pihak asing yang dinilai merugikan pihak Indonesia. Pada titik ini Prabowo Subianto berbicara tentang hubungan yang tidak adil antara negara-negara berkembang vis-à-vis negara-negara industri maju. Dimensi nasionalistik juga terlihat ketika Prabowo Subianto merumuskan kebijakan ekonominya yang lebih berorientasi ke dalam (inward-looking oriented), yakni dengan memperluas areal persawahan, bioetanol, dan pertanian lainnya serta meningkatkan produktivitas sebagai strategi memperluas lapangan kerja dan peningkatan pendapatan.
Tentu saja kita menyadari ancaman yang seringkali mengintai perjalanan kebijakan ekonomi yang bercorak nasionalistik-kerakyatan, yaitu: 1). penggerogotan korupsi, kolusi, dan nepotisme dari aras domestik; 2). kemungkinan ancaman sanksi ekonomi dari aras internasional. Ancaman yang pertama konon hendak diatasi dengan menutup kebocoran anggaran negara serta peningkatan produktivitas domestik. Adapun ancaman yang kedua mestinya diatasi dengan mengandalkan diplomasi ekonomi dan mekanisme penyelesaian sengketa baik di tingkat WTO maupun dalam forum-forum arbitase internasional yang ada. Sayangnya, topik ini sama sekali absen dalam debat Capres kali ini, sehingga kita tidak mendapat kesempatan untuk mendengarkan strategi yang akan ditempuh oleh Prabowo Subianto untuk mengatasi ekses-ekses negatif yang mungkin ditimbulkan oleh kebijakan ekonomi yang dipilihnya.
Adapun agenda kebijakan ekonomi Joko Widodo, dari perspektif ekonomi-politik dapat dikatakan kurang ideologis, kurang koheren, dan lebih berkutat pada hal-hal mikro. Perlu kiranya ditegaskan betapa dimensi ideologis adalah hal yang perlu dalam perumusan kebijakan ekonomi pada skala makro, mengingat ideologi menyangkut arah dan tujuan yang hendak dituju. Joko Widodo memang menyebut kebijakan ekonominya sebagai bercorak kerakyatan yang disebutnya sebagai Ekonomi Berdikari. Akan tetapi, ketika diminta mengelaborasi kebijakan Ekonomi Berdikari-nya, Joko Widodo lebih banyak berbicara tentang pembangunan pasar-pasar tradisional sebagai tempat pemasaran produk-produk pertanian dari pedesaan. Namun, sama sekali tidak berbicara tentang hubungan antara kota dan desa yang sesungguhnya selama ini berlangsung secara tidak adil. Tidak pula mengungkapkan sikapnya tentang subsidi oleh pemerintah kepada kaum tani sebagaimana dilakukan oleh Uni Eropa melalui Common Agricultural Policy (CAP)-nya, suatu kebijakan ekonomi yang kontroversial dan sensitif dalam konteks keberlakuan WTO Convention.
Kendati demikian, dalam berbagai kesempatan, Joko Widodo secara terang-terangan menawarkan dukungan pemerintah yang bersifat mempermudah pelaku usaha domestik vis-à-vis pelaku usaha asing, yang dalam regim hukum WTO Convention disebut sebagai domestic support yang merupakan tindakan yang terlarang. Hal yang demikian terlihat dengan jelas ketika Joko Widodo menjawab pertanyaan Prabowo Subianto tentang strategi untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi domestik di tengah ketidak-pastian perekonomian global. Joko Widodo mengungkapkan optimismenya akan pertumbuhan ekonomi domestik sebesar 7% dengan menempuh kebijakan industrialisasi orientasi ekspor (IOE) yang disertai dengan pemberian insentif oleh pemerintah serta dengan memperbaiki sistem perijinan dengan memberlakukan pelayanan secara online. Pertanyaan yang belum terjawab adalah apakah pemberian insentif oleh pemerintah tidak justru berakibat kontraproduktif, mengingat domestic support adalah kebijakan yang dilarang oleh WTO Convention sehingga membuka kemungkinan pengenaan sanksi oleh mitra dagang, baik dalam bentuk tindakan pembalasan (retaliation) ataupun sanksi dalam rangka kebijakan anti-dumping?
Tampaknya, Joko Widodo memang mendua dalam menyikapi pelaku ekonomi asing. Betapa tidak? Di satu sisi, Joko Widodo menolak gagasan Prabowo Subianto untuk merenegosiasi kontrak-kontrak dengan pihak asing yang merugikan Indonesia. Akan tetapi, di sisi yang lain, Joko Widodo secara terang-terangan menyatakan akan memberlakukan kebijakan dan regulasi yang bersifat mempermudah pelaku ekonomi domestik dan pada saat yang bersamaan mempersulit dan memberlakukan (non-tariff) barrier kepada pelaku usaha asing. “Yang utama melindungi ekonomi domestik. Jangan sampai memberikan peluang yang besar terhadap asing!”, demikian Joko Widodo.
Mengingat kebijakan yang diskriminatif dan pemberlakuan non-tariff barrier adalah kebijakan terlarang dalam regim hukum WTO Convention, pertanyaan yang mengganggu benak saya adalah: tidakkah kebijakan ekonomi yang demikian akan menghadapkan negeri ini ke dalam bahaya ekonomi yang sesungguhnya tidak perlu? Bagaimanakah strategi akan yang ditempuh oleh Joko Widodo untuk mengatasi tindakan retaliasi yang kemungkina akan diberlakukan oleh negara-negara mitra dagang? Sayangnya, hal-hal seperti itu tidak terungkapkan sehingga tetap menjadi pertanyaan yang bukan tidak mungkin menimbulkan ketidak-pastian di kalangan pelaku usaha.
Tentu saja kita mengapresiasi agenda kebijakan Joko Widodo untuk memberlakukan Kartu Sehat Indonesia dan Kartu Pintar Indonesia. Harus diakui bahwa hal itu akan mempermudah akses rakyat miskin untuk mendapatkan jasa pelayanan kesehatan dan pendidikan, sehingga layak untuk disebut sebagai kebijakan yang bercorak populis. Akan tetapi, bahwa kebijakan tersebut tidak hendak mentransformasikan stuktur sosial yang tidak adil yang seringkali menjadi akar dari kemiskinan, hal itu membuat kita layak menduga betapa jenis populisme yang dianut oleh Joko Widodo adalah populisme kanan, disadari atau tidak disadari.
Bagaimana pun, paparan kedua Capres itu barulah sebatas rencana yang masih terbuka untuk direvisi setelah menerima berbagai masukan yang berasal dari berbagai kalangan. Hal yang paling elok adalah apabila Capres terpilih senantiasa membuka diri terhadap masukan-masukan tidak saja yang berasal dari rekan sekoalisinya, tetapi juga bahkan dari kontendernya sendiri. Sikap yang demikian itu tidak saja membuktikan sikap kenegarawanan mereka, tetapi juga merupakan perwujudan prinsip gotong-royong yang konon menjiwai anak-anak bangsa ini sejak dari nenek-moyang kita entah beberapa generasi yang lampau,-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H