Mohon tunggu...
Reva Prasetya
Reva Prasetya Mohon Tunggu... wiraswasta -

When I Think About Football, I Think Manchester United. Twitter: @HoolGad

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Robin van Persie, Si Pemberontak Dengan Satu Keinginan

12 Agustus 2014   08:34 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:46 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Robin van Persie sering terlihat menggiring bola di jalanan Rotterdam saat masih berusia belasan. Dia selalu menjaga bola agar tidak menyentuh tanah dan terkadang memantulkannya ke tiang-tiang lampu jalanan. Beberapa orang yang melihat aksinya tersenyum namun kadang jengkel dan membencinya. Namun Robin tak bisa menahan itu, dia tetap memainkan bolanya kemanapun dia pergi.

"Aku tidur dengan bola! Sepakbola adalah kecintaanku yang terbesar. Saat masih di Excelsior (klub amatir pertama Robin), aku selalu berlatih pagi sampai sore bersama pelatih Aad Putters. Ini bukan untuk mencari ketenaran tapi demi kesenangan. Aku benci sekolah, bagiku itu adalah neraka. Aku lebih menikmati bermain sepakbola di lapangan. Satu-satunya tempat dimana aku bisa merasa bebas", kenang Robin.

Bob van Persie, ayah Robin, berulang kali dipanggil ke sekolah guna mendapat laporan dari kepala sekolah jika Robin sering bolos dan tidak pernah mengerjakan tugas. Namun itu tidak dianggap sebagai suatu masalah yang besar. Bob sangat mendukung anaknya bermain sepakbola.

"Selain makan dan tidur, dia hanya sibuk dengan sepakbola. Dewan sekolah beberapa kali memanggilku agar bisa memperingatkan Robin jika sekolah lebih penting dari sepakbola, tapi aku dan Robin sangat tidak setuju. Tahukah Anda jika Robin pernah menjadi pelatih saat masih berusia 12 tahun? Ya. Itu dilakukannya saat masih di Excelsior. Sekadar untuk kesenangan", tutur Bob.

Saat berusia 13 tahun, Robin bergabung dengan klub papan atas Belanda, Feyenoord. Tidak butuh waktu lama baginya untuk memikat staf kepelatihan. Pada 3 Februari 2002 Robin melakukan debut untuk tim utama Feyenoord dan bermain di final UEFA Cup beberapa bulan kemudian.

Feyenoord menang dan Robin menjadi local hero baru. Semuanya berjalan lancar sebelum Robin terlibat bentrok dengan seniornya Pierre van Hoijdonk di hadapan 50.000 fans saat Feyenord menjamu RKC. Hal ini terjadi karena dua orang ini berebut menjadi algojo tendangan bebas. Hooijdonk dan Bert van Marwijk (manajer Feyenoord saat itu) sangat marah ketika Robin bertindak sebagai algojo, padahal kiper RKC dibuat kerepotan dengan tendangan kaki kiri keras Robin yang nyaris sempurna.

Kian hari Robin van Persie mulai mengembangkan sikap sebagai pemain dewasa. Dia bahkan tidak ingin menggunakan mobil yg diberikan secara cuma-cuma oleh sponsor dan lebih memilih membeli Mercedez sport terbaru. Robin juga mulai muak dengan ulah Pierre van Hooijdonk dan Paul Bosvelt sebagai senior di Feyenoord yang sok berkuasa dengan membuat banyak aturan.

Pada 27 Agustus 2002, Feyenoord menghadapi Fenerbahce di Champions League. 15 menit sebelum pertandingan berakhir, van Marwijk meminta Robin untuk melakukan pemanasan namun tidak kunjung dimainkan dengan alasan sang pemain terlihat tidak bersemangat. Robin marah dan menolak menjabat tangan Marwijk seusai pertandingan. Inilah awal dari perseteruan Robin-Marwijk sampai 2 tahun berikutnya.

"Aku tidak pernah benar-benar dipercaya oleh para pelatih di Feyenoord. Mereka selalu menempatkanku sebagai pemain pelapis. Saat bermain pun aku hanya diposisikan sebagai sayap kiri, bukan sebagai penyerang, posisi idealku. Tapi saat aku melakukan kesalahan, neraka seolah keluar dari mulut mereka. Mereka tidak pernah memberikan kritik konstruktif, melainkan hanya menghinaku", keluh Robin

Namun van Marwijk membela diri dan berpendapat Robin harus diperlakukan seperti itu karena kurang mendapat kritik di masa mudanya. Dia yakin telah melakukan hal yang benar untuk Robin.

Musim panas 2002 sangat sulit bagi Robin. Dia tidak banyak bermain karena dianggap sebagai seorang pemberontak yang arogan. Emosinya pun tidak stabil. Manajemen mulai menanyakan masa depan Robin kepada van Marwijk. Namun pada 15 April 2004, saat Feyenoord menghadapi Ajax dalam sebuah pertandingan di level youth team, Robin menunjukkan kedewasaannya. Saat itu ada sekitar 4000 fans Ajax yang berjarak sangat dekat dengan lapangan. Robin dicemooh, diludahi, bahkan dilempar botol minuman. Namun dia tetap tenang dan bermain baik. Di menit akhir pertandingan, Robin mencetak gol penyeimbang dan merayakannya dengan melakukan ciuman jarak jauh untuk fans Ajax. Alhasil sekitar 40 orang mengepung Robin, dan memukulinya di lapangan. Kejadian ini membuat Robin berada dalam tekanan psikis selama beberapa minggu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun