Mohon tunggu...
Reva Prasetya
Reva Prasetya Mohon Tunggu... wiraswasta -

When I Think About Football, I Think Manchester United. Twitter: @HoolGad

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Tentang Kontroversi Usang: Larangan Untuk Mengucapkan 'Selamat Natal'

24 Desember 2014   22:35 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:32 477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_343147" align="aligncenter" width="431" caption="sumber gambar: http://frontroll.com/foto_berita/77linda94.jpg"][/caption]

Natal tahun ini masih sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Masih diwarnai kontroversi seputar haram atau halal bagi seorang Muslim mengucapkan "selamat Natal" kepada mereka yang merayakan. Fenomena ini pun begitu cepat menyebar di media sosial.

Saya rasa ada beberapa hal yang harus diluruskan dan penting untuk diketahui lebih dalam kebenarannya. Ada kekhawatiran dalam diri saya bahwa larangan mengucapkan "selamat Natal" bagi umat Islam itu dilakukan oleh mereka yang ingin memecah-belah kerukunan umat serta menggiring masyarakat dengan opini-opini tidak berdasar untuk mewakili tujuan kelompok-kelompok tertentu. Apalagi mayoritas masyarakat kita sangat "penurut". Mudah sekali diprovokasi argumen orang lain tanpa dipikir matang terlebih dahulu. Bukankah Korps Nasi Bungkus yang ikut demonstrasi di republik ini pun muncul karena sifat "penurut" tersebut?

Pengertian Natal dan Maulid

Pertama-tama, saya harus bertanya: ayat mana yang menyatakan bahwa seorang Muslim haram hukumnya mengucapkan "selamat Natal" kepada mereka yang merayakan??? Saya rasa tidak ada. Koreksi saya jika memang benar ada ayat dalam Al-Quran yang menyatakan pelarangan itu.

Natal berarti saat dimana Nabi Isa AS dilahirkan ke dunia oleh 'perawan suci' Maryam. Ada dua istilah dalam Bahasa Arab yang berarti 'hari kelahiran', yaitu 'harlah' dan 'maulid'. Namun, dalam perkembangannya, dua istilah ini memiliki makna khusus yang juga digunakan secara khusus. Maulid adalah istilah yang digunakan untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Sementara 'harlah' dikhususkan untuk memperingati lahirnya Nabi Isa AS. Sebutan lain 'harlah' adalah Natal.

Dalam bahasa teori Hukum Islam, 'Maulid' dan 'Natal' dideskripsikan sebagai "kata yang lebih sempit maksudnya, dari apa yang diucapkan". Penyempitan makna kata sangat lumrah terjadi karena adanya perkembangan sejarah umat manusia yang beragam. Dalam kasus ini, Natal kini hanya digunakan oleh umat Kristiani, sedangkan Maulid hanya untuk umat Islam.

Natal pun disebut dalam Al-Quran dengan istilah "yaumul wulid" untuk mendeskripsikan hari kelahiran Nabi Isa AS. Sepengetahuan saya, ada 2 ayat yang menuliskan itu (lupa surat apa dan ayat berapa, tapi ada). Pertama: "kedamaian atas orang yang dilahirkan hari ini" (salamun yauma walid). Kedua: "kedamaian atas diriku pada hari kelahiranku" (al-salamu 'alaiyya yauma wulidtu).

Dengan demikian, secara tidak langsung, Natal juga diakui oleh Al-Quran (sebagai hari kelahiran Nabi Isa AS). Itu berarti umat Islam pun harus menghormati. Berkenaan dengan keyakinan umat Kristiani yang menganggap Nabi Isa adalah "anak Tuhan", itu urusan lain lagi yang menjadi ranah mereka. Kita sebagai umat Islam tidak berhak mencampuri atau mempertanyakan keyakinan mereka. Begitupun dengan cara umat Kristiani merayakan hari kelahiran Nabi Isa AS. Itu adalah hal yang tidak perlu dipersoalkan. Toh umat Islam di seluruh dunia pun punya cara dan bentuk berbeda dalam merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW.

Haram atau Halal?

Banyak ulama berbeda pendapat tentang haram atau halal mengucapkan "selamat Natal" kepada umat Kristiani. Tergantung kita mau bergantung pada keyakinan ulama yang mana. Sebagai manusia, saya memiliki sikap sendiri. Maka saya memutuskan untuk bersandar pada keyakinan hati dan akal sehat yang berpedoman pada Al-Quran. Dalam konteks sebagai warga negara Indonesia, maka perlu juga menjadikan MUI sebagai acuan. Walaupun menurut saya, hanya orang-orang dengan benih kesombongan kuat dalam nadinya yang berani-beraninya mengatur manusia dengan satu kata sakti: fatwa. Seolah-olah Al-Quran tidak cukup menjadi dasar kehidupan kita semua. Tapi, mari kita lupakan sejenak sikap saya kepada MUI.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun