Paska tenggelamnya kapal selam Nanggala 402 di laut Utara Bali, mengemuka upaya penggalangan dana untuk membeli kapal selam untuk TNI.
Gagasan ini diprakarsai oleh pengelola masjid Jogokariyan Yogyakarta. Masjid yang sebelumnya dikenal selalu dapat menyalurkan infak, sedekah dan wakaf dengan cepat melalui program dan kegiatan yang kreatif, inovatif dan tepat sasaran.
Hingga diberitakan luas aksi sosial dan keagamaan masjid ini mampu membuat saldo masjid selalu nol rupiah dengan cepat. Singkatnya untuk reputasi dan kompetensi penggalangan dan penyaluran bantuan, masjid Jogokariyan tidak diragukan lagi.
Sesungguhnya bukan hal baru dimana rakyat menyumbang untuk negara. Di awal berdirinya republik Indonesia, tercatat masyarakat Aceh menyumbangkan harta benda untuk membelikan pesawat  yang menjadi bukan saja simbol tapi juga bukti nyata kepedulian rakyat pada negaranya.
Hanya saja tidak dipungkiri, gagasan ini mengundang berbagai pendapat pro dan kontra. Bahwa berbeda di masa awal kemerdekaan, saat ini kita telah memiliki Anggara Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dapat direncanakan berdasarkan prioritas pembangunan dan isu-isu strategis bangsa dan negara.
Beberapa diantaranya menganggap bahwa upaya ini tidak lepas dari mencari sensasi belaka. Ada sebagian pula beranggapan bahwa pengadaan alutsista adalah tanggungjawab negara. Lebih jauh ada yang menilai bahwa rakyat sudah memberi sumbangan pada negara dalam bentuk pajak yang dibayarkan.
Beberapa yang kontra tentu tak lepas dari pendapat kritis yang mengacu pada tata kelola keuangan dan prioritas anggaran pemerintah. Dimana salah satunya menyoroti tentang urgensi pembangunan beberapa proyek infrastruktur dan rencana perpindahan ibukota dengan pengadaan alutsista pertahanan nasional.
Sementara itu ada pula yang menyoroti beberapa kasus korupsi yang merugikan negara hingga trilyunan rupiah. Yang secara langsung atau tidak memberi kritik terhadap tata kelola dan sistim pengawasan untuk pencegahan dan penindakan sehingga anggaran yang ada tidak efektif dan tepat sasaran.
Meski tak dapat dipungkiri pula bahwa pro kontra patungan kapal selam ini diwarnai dengan berbagai sensitifitas politik. Diantaranya dukungan ustadz kondang yang dikenal berseberangan pada pilpres lalu, selain tentu saja keberadaan menteri pertahanan yang sebelumnya menjadi rival presiden terpilih dalam pilpres.
Lepas dari itu semua, dalam kesedihan yang mendalam gugurnya awak Nanggala 402, membuka mata bagi kita tentang kualitas dan kuantitas alutsista TNI AL dalam tugas berat menjaga wilayah maritim negara kepulauan ini. Bukan hanya itu, faktor keselamatan awak kapal menjadi perhatian sekaligus perhatian kita bersama.
Memang harga kapal selam buatan Jerman yang mencapai 16 Trilyun rupiah, berkali-kali lipat harga kapal selam buatan Palembang yang untuk kelas super dijual 16 ribu rupiah.
Mungkin perlu waktu lama bagi masyarakat mengumpulkan uang untuk membeli satu unit saja kapal selam buatan Jerman.
Namun upaya penggalangan dana ini tentu tidak dilihat semata apakah rakyat mampu melakukannya, tapi bentuk kepedulian sekaligus mengajak dengan rendah hati, agar pengambil keputusan lebih memberi prioritas dalam hal ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H