Kalau kita pikir yang "dijual" sekedar barang dan jasa, kita telah mengabaikan kemungkinan nilai-nilai etis dan ideologis juga jadi komoditasnya.
Sepuluh orang berbeda tanpa perlu saling mengenal disuruh membeli sebuah merek atau tipe hape tertentu di suatu pusat perbelanjaan elektronik pada saat bersamaan. Mereka diberi upah untuk melakukan itu.
Yang menyuruh tau betul bahwa mereka tidak akan banyak yang menemukannya. Karena dialah pemegang hak atas pemasaran produk itu. Dia tau betul stok oleh toko-toko di sana hanya sedikit.
Dan dia berharap akan ada banyak permintaan dari pedagang setelah dia sebar agen yang "menggoreng" demand atas produk itu. Tentu dengan strategi kalau beli cash dalam jumlah banyak akan mendapat cashback/discount menarik.
Singkat kata, sebagaimana habit yang sudah dipelajari bahwa antar pedagang akan saling menanyakan kepada toko lain jika ada pelanggan yang menanyakan suatu produk yang mereka tidak punya stoknya, maka seketika komunikasi pusat perbelanjaan dipenuhi oleh tingginya permintaan akan barang tersebut.
Agen yang memenuhi kebutuhan itu tentu dapat segera mengenali "permintaan palsu" itu dengan sejumlah ciri-ciri. Diantaranya dengan mengkonfirmasi pada karakteristik pembeli, berapa konsisten permintaan itu muncul dalam beberapa hari atau Minggu, dan yang paling jitu adalah mencari tau kredibilitas pemegang hak pemasaran produk itu.
Permainan-permainan seperti itu sudah masa lalu. Sekarang ini lebih rumit.
Sosial media dan onlineshop mendistruck tatanan sedemikian rupa. Sehingga pemegang hak pemasaran bisa siapa saja, lebih dari satu orang dengan berbagai istilah resellerkah atau dropshiperkah, Â bahkan oleh produsennya sendiri, langsung dari negaranya.
Yang diperlukan hanya agen proxy yang tahu cara bicara dengan khalayak lokal, bisa mendistribusikan barang pesanan dengan layanan yang diinginkan dan dibutuhkan konsumen, serta yang penting mampu mempengaruhi opini dan emosi pasar.
Kemampuan mengelola agen proxy ini tentu didukung oleh kebijakan yang menggiurkan. Sehingga barang yang ditawarkan lebih murah dari barang sejenis yang diproduksi dalam negeri. "Predatory Pricing" ini lama kelamaan membuat industri lokal kalah bersaing dan mati.
Pada akhirnya ini bukan hanya tentang gantungan baju yang entah bagaimana bisa dibeli istri saya dengan harga dua ribu rupiah perbuah, free ongkir dari luar negeri.
Tapi tentang bagaimana kita bisa begitu mudah dialihkan dari isu-isu yang penting kepada isu-isu yang kurang bahkan tidak penting.
Akibat agen-agen proxy yang mungkin tanpa mereka sadari, juga telah "membuyarkan perhatian kita pada harimau lapar yang mendekat, dengan menerbangkan banyak lalat yang tidak lebih berbahaya di wajah kita."
Murah lho ini, hingga kita lupa industri lokal yang mati...
#MenantiSyuruq
#NgocehReceh
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H