Mohon tunggu...
hony irawan
hony irawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penggiat Advokasi dan Komunikasi Isu Sosial, Budaya dan Kesehatan Lingkungan

pelajar, pekerja,teman, anak, suami dan ayah

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Penerapan "Collaborative Governance" untuk Sanitasi Aman Berkelanjutan 2024

14 Januari 2020   14:48 Diperbarui: 14 Januari 2020   15:50 1259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ini tentu bukan tulisan ilmiah, namun anggaplah sebagai catatan penulis atau sebuah usulan penelitian yang perlu ditindaklanjuti untuk dituliskan kembali mengikuti kaidah-kaidah penulisan ilmiah.

Belajar dari data 5 tahun terakhir, jika dilihat dari kapasitas internal pemerintah baik pusat maupun daerah untuk mencapai Universal Access sanitasi 2015-2019, sebagaimana yang dirilis Kementerian PU (2015), kebutuhan penuntasan akses sanitasi selama kurun waktu tersebut mencapai 268,33 triliun rupiah, sedangkan kapasitas APBN berdasarkan RPJMN 2015-2019 hanya sebesar 31,18 triliun rupiah atau hanya 12% dari total kebutuhan. Maka dibutuhkan sumber-sumber pendanaan dan pembiayaan lain di luar APBN.

Kebutuhan Pembiayaan Sanitasi 2015-2019

Sumber: Kementerian PU (2015)
Sumber: Kementerian PU (2015)
Berangkat dari fakta bahwa "sanitasi adalah urusan kita bersama" tersebut, maka pembangunan sanitasi (air limbah dan persampahan) perlu melibatkan segenap pihak termasuk pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta, lembaga sosial keagamaan, lembaga donor, lembaga swadaya masyarakat dan unsur-unsur lain, maka penting kita melihat apa yang telah dilakukan selama ini dalam konteks kerjasama multipihak ditinjau dari pemenuhan unsur kolaborasi yang efektif sebagaiamana Collaborative Governance Theory (CGT) yang diperkenalkan Ansell and Gash  (2007).

Collaborative Governance Theory (CGT)

Secara definisi Ansell dan Gash mengartikan Collaborative Governance sebagai 1. pengaturan proses pengambilan keputusan kolektif bersifat formal, 2. berdasarkan konsensus 3. hasil musyawarah antara 4. lembaga publik dan pemangku kepentingan lain yang non publik, 5. dalam melaksanakan kebijakan dan atau pengelolaan program atau aset program, dengan 6. tetap mengusung kepentingan masing-masing lembaga dalam mencapai tujuan bersama. Dalam cakupan yang lebih luas Collaborative Governance meliputi bukan hanya pemerintah dan non pemerintah, namun juga masyarakat termasuk komunitas sipil.

A Model of Collaborative Governance, Ansell & Gash 2007
A Model of Collaborative Governance, Ansell & Gash 2007
Pada model Collaborative Governance untuk dapat melaksanakan proses kolaborasi diperlukan 3 komponen utama yaitu; 1.  insentif, 2. desain kelembagaan dan 3. kepemimpinan fasilitatif untuk mencapai dampak seperti yang diharapkan. Dengan model CGT Ansell and Gash inilah saya coba menganalisis praktek Collaborative Governance ini dalam pelaksanaan pembangunan sanitasi di Indonesia utamanya dalam program Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman (PPSP).

Insentif

Secara umum insentif adalah imbalan yang diberikan untuk mendorong atau memicu kegiatan dalam rangka meningkatkan kinerja seperti yang diharapkan. Dengan adanya keterbatasan pemerintah daerah terkait anggaran pembangunan sanitasi, pemerintah pusat memberi berbagai jenis insentif melalui berbagai mekanisme hibah maupun bantuan keuangan dengan sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi oleh  pemerintah daerah. Beberapa diantara;

  1. Hibah air limbah setempat oleh kementerian PUPR, bagi pemerintah daerah yang bersedia mengalokasikan hibah dengan sistim reimbursement, untuk masyarakat terutama yang tidak mampu membangun jamban dan tangki septil layak.
  2. Pemberian pendampingan fasilitator kabupaten/kota dan provinsi untuk program PPSP, bagi kabupaten kota yang melengkapi syarat-syarat peminatan untuk menyusun Strategi Sanitasi Kabupaten.Kota (SSK).
  3. Prioritas anggaran untuk pembangunan sanitasi (persampahan dan air limbah) melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) bagi pemerintah kabupaten/kota yang telah menyusun Strategi Sanitasi Kabupaten.Kota (SSK) dan telah menyiapkan readiness criteria (sarat-sarat kesiapan).
  4. Hibah Instlasi Pengelolaan Air Limbah komunal dari mitra pembangunan (donor) maupun pemerintah pusat.

Lewat berbagai insentif dari pemerintah pusat inilah, pemerintah kabupaten/kota dapat  menjadikannya "modal" untuk menyusun kebijakan dalam rangka mengungkit sumber-sumber pendanaan lain termasuk dari APBD-nya maupun dari luar pemerintah seper swasta, lembaga sosial keagamaan, mitra donor (mitra pembangunan), dan masyarakat dalam memenuhi akses layanan air limbah dan persampahan.

Terobosan pemerintah daerah dalam memberikan insentif bagi mitra pembangunan sanitasi di daerah dan masyarakat disesuaikan dengan kemampuan dan pengalaman yang dimiliki dalam bekerjasama, serta berdasarkan kebutuhan dan keinginan mitra dan masyarakat.

Demikian penting komponen insentif ini diberikan oleh pemerintah daerah untuk memberi kemudahan bagi masyarakat agar mau dan mampu membangun, memanfaatkan dan memelihara layanan sanitasi, sehingga insentif dari pemerintah pusat yang menjadi salah satu pendorongnya nampaknya ke depan, dengan kian lebih ditekan pada aspek kualitas dan berkelanjutan nampaknya sangat perlu ditingkatkan dengan lebih inovatif, akurat, mudah, cepat dan bebas biaya. 

Beberapa pemerintah daerah telah memanfaatkan kemudahan dari pemerintah pusat dengan memberi insentif terobosan untuk dapat meningkatkan akses sanitasi aman bagi masyarakat diantaranya:

  1. Pemerintah Kota Bitung, Sulawesi Utara dan Pemerintah Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan yang meluncurkan insentif kepada masyarakat yang dengan sukarela melaporkan kepemilikan dan kondisi tangki septiknya. Melalui program Amnesti Tangki Septik Bocor, masyarakat yang melapor mendapatkan sedot tinja gratis dengan syarat akan bersedia membayar untuk penyedotan berikutnya. Ini berarti meningkatkan pengurasan tangki septik sekaligus memperoleh data yang akurat. Pada perkembangannya dari data yang diperoleh, masyarakat tidak mampu yang belum memiliki jamban dan tangki septik akan diikutsertakan dalam program hibah air limbah setempat atau hibah sambungan Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) komunal. Bagi masyarakat yang belum mampu diberikan fasilitas kredit agar jamban dan tangki septik yang dimiliki dapat diperbaiki dan memenuhi standard. Hal serupa juga dilakukan di beberapa daerah dengan nama yang berbeda.
  2. Insentif juga diberikan kepada perusahaan sedot tinja swasta dengan memberi konsesi wilayah penyedotan serta buang limbah lumpur tinja secara gratis atau dengan biaya yang relatif murah di Instalasi Pengelolaan Lumpur Tinja (IPLT) yang dikelola pemerintah daerah. Beberapa daerah seperti Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah telah mulai untuk dapat melakukan gagasan ini pada tahap yang bervariasi sesuai tahapan, yaitu inventarisir usaha penyedotan tinja, sosialisasi, pelatihan operator, sertifikasi, MOU dan operasionalisasi kegiatan. Insentif semacam ini memberi kemudahan bagi swasta untuk dapat berperan dalam pengelolaan air limbah aman dan berkelanjutan.
  3. Di sub sektor persampahan, pemerintah daerah memicu adanya pengurangan sampah plastik dengan kebijakan tanpa kantong plastik di pusat perbelanjaan. Selain itu insentif diberikan kepada masyarakat yang melakukan pemilahan, komposting selain pemberian hibah perangkat pengumpulan sampah berupa mobil atau motor sampah untuk usaha pengangkutan sampah.  Selain itu di beberapa daerah telah banyak upaya untuk mendorong adanya Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang bergerak pengumpulan sampah, bank sampah dan pengomposan.

Rumusan kebijakan nasional untuk memberi kemudahan kepada setiap kabupaten/kota perlu dirumuskan hingga dapat sesuai dengan kebutuhan daerah.

Desain Kelembagaan

Dalam Collaborative Governance peran lembaga koordinasi sangat penting tidak hanya sebatas keberadaan legalitas namun juga dalam; 1. menjalankan tugas dan fungsi masing-masing lembaga secara 2. transparan, 3. partisipatif, dan 4. jelas aturan mainnya.

Sebagai penggerak program Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman (PPSP), Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (Pokja AMPL) Nasional yang kini menjadi Pokja Perumahan, Permukiman, Air Minum dan Sanitasi (PPAS), merupakan lembaga ad-hoc yang melibatkan utamanya Kementerian Kesehatan untuk aspek advokasi dan pemberdayaan, Kementerian Dalam Negeri untuk aspek kelembagaan dan keuangan,  dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) untuk aspek teknis, dengan dikoordinasi oleh Kementerian PPN/ Bappenas untuk mewadahi koordinasi lintas kementerian terkait pembangunan sanitasi di Indonesia.

Jika ditinjau dari aspek kolaborasi internal Pokja AMPL di tingkat nasional mengalami pasang surut sepanjang kurun waktu 2006 hingga 2019. Berbagai faktor yang mempengaruhi diantaranya adalah; 1.  Adanya perubahan kebijakan yang mempengaruhi peran dan fungsi kementerian terkait,

2. payung hukum kelembagaan yang perlu dimutakhirkan sehingga berdampak pada alokasi anggaran,

3. dukungan pendanaan dan sumber daya untuk operasionalisasi kegiatan, serta

4. pergantian personil di lingkungan kementerian terkait yang memerlukan waktu dalam memahami dan menyelaraskan pendekatan serta instrumen program.  

Perlu upaya khusus dan dukungan penuh kepemimpinan fasilitatif untuk dapat memecahkan kebekuan untuk Pokja AMPL/PPAS Nasional dapat menjawab tantangan Sustainable Development Goals (SDGs) 2030 dari aspek sanitasi dan target RPJMN 2024 tentang sanitasi aman berkelanjutan.

Kemudian lewat Surat Edaran Menteri Dalam Negeri, No. 660/4919/SJ, 2012 tentang Pedoman Pengelolaan PPSP di Daerah, mengamanatkan agar pemerintah provinsi dan kabupaten/kota membentuk kelompok kerja sanitasi sebagai wadah koordinasi pembangunan sanitasi di daerah. Kini telah hampir seluruh provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia telah secara formil membentuk Pokja Sanitasi/AMPL/PPAS dengan struktur dan personil sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Mendagri tersebut.

Menurut data Bappenas capaian akses sanitasi layak tahun 2018 adalah 74,58%. Jumlah tersebut  termasuk akses aman 7,42%. Atau dengan kata lain masih ada 25,42%  atau 67,36 juta jiwa (dari 265 juta jiwa) belum memiliki akses sanitasi layak. Dari jumlah tersebut 9,36% atau 24,8 juta jiwa diantaranya masih buang air besar sembarangan (BABS).

Menteri Bappenas dalam pembukaan City Sanitation Summit XIX di Banjarmasin menyampaikan bahwa akses sanitasi layak rata-rata meningkat sebesar 1,4% per tahun. Sehingga jika tidak ada peningkatan rata-rata, perlu 18,16 tahun untuk menuntaskan 25,42% yang belum memiliki akses layak. Sementara dengan penurunan tingkat praktek Buang Air Besar Sembarangan (BABS) di tempat terbuka rata-rata sebesar 1,2% per tahun, sehingga  untuk menuntaskan 9,36% yang masih BABS, maka diperlukan waktu 7,8 tahun untuk menuntaskannya.

Dengan target RPJMN 2020-2024 untuk akses sanitasi layak 90% layak (termasuk 20% aman), maka untuk dapat mewujudkannya perlu 4 kali lipat upaya dan dana yang diperlukan.

Terkait dengan peningkatan akses layanan air limbah dan persampahan berbagai insentif telah diberikan oleh pemerintah pusat diantaranya adalah;

  1. pengutamaan alokasi Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk pembangunan sanitasi bagi kabupaten/kota yang telah menyusun strategi sanitasi kota/kabupaten (SSK) baik untuk sarana prasarana air limbah  maupun persampahan. 
  2. Untuk mempercepat proses penuntasan akses air limbah, berbagai insentif diluncurkan oleh kementerian PUPR, diantaranya hibah air limbah setempat, pembangunan IPLT, IPAL dan sarana komunal.
  3. Untuk mempercepat proses penuntasan akses persampahan, insentif diarahkan pada upaya pengurangan dan penangan persampahan skala kabupaten/kota diantaranya pembangunan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) sampah, sarana dan prasarana pengurangan sampah (TPS3R, Bank Sampah, dll)
  4. Berbagai kegiatan non teknis dari Bappenas, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat serta Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga diberikan dalam rangka mendukung kapasitas kabupaten/kota untuk dapat melaksanakan pemenuhan kebutuhan masyarakat ini.

Dengan adanya gambaran perlunya peningkatan upaya dan dana 4 kali lipat lebih tinggi, sementara kapasitas

Kepemimpinan Fasilitatif

Melihat fakta dimana anggaran pembangunan sanitasi tidak cukup dengan APBN dan APBD, pemerintah daerah (kabupaten/kota) umumnya perlu bekerjasama dengan swasta dan masyarakat. Dengan adanya target sanitasi aman di tahun 2024, yang menuntut adanya percepatan, maka dibutuhkan kepemimpinan fasilitatif tidak hanya diperlukan di tingkat nasional namun juga di provinsi dan kabupaten/kota.

Untuk dapat merumuskan insentif-disinsentif serta desain kelembagaan yang menarik dan memudahkan bagi mitra pembangunan sanitasi, perlu kepala daerah dan kepala Organisasi Pemerintah Daerah (OPD) yang memiliki kepemimpinan fasilitatif. Beberapa kepala daerah yang telah berperan sekaligus fasilitator terbukti mampu mengelola organisasi dengan menempatkan diri secara proporsional, visioner dan memberdayakan segenap pihak sesuai dengan permasalahan yang terjadi di kabupaten/kota nya.

Referensi:

  1. https://www.kompasiana.com/honyirawan/5daecd5b0d82301c84686422/target-capaian-akses-sanitasi-dan-air-minum-mengintip-rancangan-rpjmn-2020-2024?page=5
  2. https://www.kompasiana.com/honyirawan/5c8ee2780b531c788859a9b5/data-dan-fakta-terkini-air-minum-sanitasi-indonesia-2019?page=all

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun