Mohon tunggu...
hony irawan
hony irawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penggiat Advokasi dan Komunikasi Isu Sosial, Budaya dan Kesehatan Lingkungan

pelajar, pekerja,teman, anak, suami dan ayah

Selanjutnya

Tutup

Politik

"Social Approval" Calon Kepala Daerah

17 Januari 2018   08:47 Diperbarui: 17 Januari 2018   08:56 592
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gegap gempita pilkada serentak 2018 menjadi berbeda dengan dua putaran sebelumnya, 2015 dan 2017. Pembedanya tak lain adalah, pilkada 2018 berdekatan dengan pemilu 2019 yang kelak untuk kali pertama diselenggarakan serentak pemilihan presiden dan wakil presiden, serta anggota dewan yang terhormat. Para kepala daerah yang akan terpilih nanti, akan jadi tolok ukur untuk keterpilihan pemimpin nasional.

Sebuah pesta, ada yang bilang begitu. Ada pula yang bilang ini sebuah kontes. Yang rada serius bilang ini adalah pertarungan 'ideologi'. Makin serius lagi, ini adalah pertarungan antara kejahatan dan kebaikan. Entah siapa yang disebut jahat dan siapa yang disebut baik, tergantung konteksnya.

Jelas..., ketika bukan hanya urusan perang, tapi urusan harga beras, sampai jalan becek, jamban dan selokan jadi keputusan politik, maka tak ada alasan bagi seluruh masyarakat untuk tidak 'melek' siapa yang pantas untuk jadi pemimpin.

Singkatnya, kalau orang ekonomi bilang, pada akhirnya semua tunduk pada hukum ekonomi. Tapi di tangan para politisilah kebijakan ekonomi ditentukan. Bersyukur dengan banyaknya publikasi, kian banyak informasi semakin dapat melihat dengan kritis dan cerdas siapa yang layak dipilih. Jika tidak, mungkin malah semakin membingungkan?!

Meski golput bukan pilihan, namun siapa-siapa yang disodorkan tentu harus memenuhi selera masyarakat pula.

Partai-partai yang memilih pasangan calon tentu mempertimbangkan unsur keterpilihan oleh sebagian besar karakter pemilih, baik yang tradisional, rasional, kritis, bahkan yang apatis. Kaderisasi partai yang baik tentu akan memudahkannya mengusung calon. Meski karena ada ambang batas minimum, sejumlah partai harus berkompromi untuk menjagokan kader masing-masing. Inilah seninya...

Lain lagi, celakanya, bila kaderisasi kurang berjalan dengan baik. Kader-kader yang disodorkan katakan kurang memiliki nilai keterpilihan. Bahkan, misalnya ada yang memiliki catatan buruk di masa lalu, atau ada yang diduga masih tersangkut masalah hukum. Pada kondisi seperti ini tak jarang partai memaksakan diri mengusung kader 'terbaik' tersebut untuk maju, atau mencari calon diluar kader, asal dapat memenuhi 'syarat tertentu'. Media massa jelang pilkada selalu saja ada berita tentang itu dengan berbagai istilah; "beli perahu", "mas kawin", atau yang lagi ngehit sekarang adalah "mahar".

Pilkada memang perlu duit. Untuk menggerakkan tim pemenangan, melakukan komunikasi politik, sampai pembuatan atribut, hingga pengerahan saksi, semuanya perlu biaya. Tapi mestinya pilkada  bukan semata 'mainan' orang berduit. Dalam dua kali pilkada serentak,  masyarakat di berbagai daerah telah secara aktif bergerak agar pemimpin yang baik muncul. Salah satu langkah sederhana yang dilakukan adalah dengan tidak menerima "politik uang" yang konon kerap jadi awal permasalahan korupsi kepala daerah.

Jadi bagaimana kalau pilihannya tak ada yang sempurna!? Memang tidak akan pernah ada yang sempurna. Namun diantaranya tentu ada yang paling pantas untuk dipilih. Salah satu yang mungkin bisa jadi indikator adalah dukungan masyarakat yang mengenalnya dengan baik, yang mengusungnya secara sukarela lewat jalur perseorangan. Terlebih "social approval" itu telah dibuktikan lewat verifikasi sensus (bukan sampling) untuk dinyatakan memenuhi syarat dukungan. Maka beruntunglah masyarakat yang punya alternatif calon independen, karena sejak awal telah 'berkoalisi' dengan rakyat, dan lepas dari keberpihakan parpol terutama jelang pilpres 2019.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun