"Penolakan UU Cipta Kerja (Omnibus Law) tak hanya datang dari Indonesia, tapi juga dari berbagai komunitas internasional."
Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja akhirnya disahkan pada Senin, 05 Oktober 2020. Pengesahan UU tersebut tentu mengganggu rasa keadilan kita sebagai rakyat Indonesia. Tak heran, beberapa hari setelah itu, penolakan berdatangan dari berbagai kalangan.
Penolakan itu setidaknya datang dari organisasi masyarakat sipil, organisasi lingkungan, kaum buruh, organisasi HAM, organisasi mahasiswa, masyarakat adat dan lain sebagainya.
Penolakan terhadap UU Cipta Kerja atau yang biasa dikenal sebagai UU Omnibus Law tak hanya datang dari Indonesia, tapi juga dari berbagai komunitas internasional.
Kita tahu, Rancangan Undang-Undang Omnibus Law adalah upaya penyederhanaan terhadap banyaknya aturan hukum. Artinya, semangat awal dari UU ini tentu sangatlah baik.
Semangat itu setidaknya terlihat dalam pidato Jokowi pada 20 Oktober 2019, setelah dilantik menjadi presiden RI untuk kedua kalinya. Dalam pidato tersebut, Jokowi menyatakan bahwa pemerintah akan menerbitkan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja serta Undang-Undang Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah sebagai Omnibus Law.
Pidato itu awalnya disambut baik oleh seluruh rakyat Indonesia. Sayangnya, sejumlah pasal dalam RUU Omnibus Law akhirnya ditolak oleh sejumlah kalangan setelah disahkan.
Penolakan itu dilatarbelakangi oleh sejumlah pasal yang justru merugikan pekerja. Pasal-pasal tersebut adalah pasal-pasal yang memperpanjang jam kerja dan lembur, pemangkasan kewenangan serikat pekerja, pengurangan hak-hak pekerja perempuan untuk cuti haid, hamil dan keguguran.
Tak hanya itu, RUU Omnibus Law ini pun merugikan bidang pertanian karena hilangnya pembatasan impor pangan, monopoli oleh unit usaha terkait ekspor bibit unggul tanaman dan lain sebagainya.
Membaca pasal-pasal tersebut, kita akhirnya mengetahui bahwa adanya kontradiksi dengan semangat awal yang disampaikan oleh Presiden Jokowi.
Sesungguhnya, sejak awal pembahasan RUU Omnibus Law ini sudah menuai banyak kontroversi. Pasalnya, substansi aturan dinilai bermasalah karena merugikan rakyat, khususnya tenaga kerja serta dampaknya pada lingkungan hidup. Selain itu, aturan ini pun mereduksi peran pemerintah daerah.