Di berbagai media sosial, hampir setiap hari kita melihat netizen Indonesia saling berdebat tanpa henti. Tak jarang pertebatan di media sosial berujung saling bully, dan akhirnya berurusan dengan aparat kepolisian.
Melihat hal tersebut, kita lantas bertanya-tanya, apa penyebab perdebatan yang tak berfaedah itu bisa terus digemari oleh netizen Indonesia?
Sekilas perdebatan di media sosial itu terlihat sepeleh, akan tetapi itu adalah wajah asli dari kebanyakan masyarakat kita. Jika kita cermati, logika yang sering digunakan dalam setiap perdebatan  adalah logika yang selama ini menghasilkan banyak masalah dan akhirnya menghambat bangsa kita sehingga sulit bergerak maju.Â
Bangsa maju yang saya maksudkan adalah bangsa yang memiliki tiga ciri berikut, yakni kemakmuran ekonomis yang merata di seluruh warganya, keadilan hukum dan jaminan atas hak-hak asasi bagi semua rakyat, dan munculnya produk-produk dari bangsa tersebut, baik dalam bentuk barang ataupun jasa, yang berguna bagi banyak orang.
Jika dilihat dari tiga indikator ini, maka jelas, bahwa bangsa Indonesia sama sekali belum bisa disebut sebagai bangsa maju.
Mengapa ini terjadi? Pada hemat saya, ini terjadi, karena kita mengalami kesalahan berpikir yang melanda berbagai bidang kehidupan kita. Jika kita sering mencermati setiap permasalahan yang terjadi, setidaknya kita akan menemukan enam kesalahan berpikir yang bisa dengan mudah ditemukan di dalam diri orang Indonesia pada umumnya, yakni cara berpikir teologis-mistik, kemalasan berproses/kultur instan, logika jongkok, konformisme kelompok, tidak taat perjanjian, dan bekerja setengah hati.
Orang Indonesia pada umumnya senang sekali melompat ke ranah teologis-mistik, ketika berusaha menjelaskan hidupnya. Ketika ada masalah, ia tidak mencari akar masalahnya terlebih dahulu, melainkan melompat untuk melihatnya sebagai bagian dari Kehendak Tuhan atas dirinya.
Ini terjadi, menurut saya, karena kemalasan berpikir mandiri dan rasional sebagai manusia, sehingga melemparkan segalanya ke Tuhan. Ini adalah sikap kekanak-kanakan. Selama kita masih melihat segala sesuatu dengan kaca mata teologis-mistik semacam ini, kita tidak akan pernah berhasil melampaui masalah-masalah konkret kehidupan yang kita hadapi sehari-hari.
Orang Indonesia juga malas sekali menempuh proses. Mereka cenderung mencari cara yang cepat dan praktis untuk sampai pada tujuan-tujuannya, walaupun cara-cara itu seringkali bersifat koruptif.