Awalnya, mereka mengukurnya pada sebatang kayu atau seutas tali. Kemudian, barulah sebatang kayu atau seutas tali itu mereka gunakan untuk mengukur panjang dan lebar sebuah lahan.
Berbeda lagi, jika ingin menghitung jumlah orang. Untuk menghitung jumlah orang, mereka menghitung dengan menggunakan batu kerikil atau setumpuk biji jagung. Setiap jiwa (orang) dihitung mewakili satu jiwa.
Hal ini masih bisa kita temui pada saat pemilihan kepala desa, maupun saat mengikuti kebaktian (ibadah mingguan) pada beberapa desa di Kabupaten Timor Tengah Selatan.
Matematika dan bahasa lokal
Menggali kembali matematika lokal perlu untuk terus digalakan. Ini penting karna matematika bukan semata bilangan. Ia adalah bahasa. Karena itu bukan angka dan hasil yang paling penting, tapi argumen.
Kebudayaan yang berisi nilai-nilai dan pengetahuan lokal dicipta dan dikostruksi dengan perantara seperangkat bahasa. Dengan demikian, bahasa lokal Atoin Meto dan matematika lokal beserta pengetahuan-pengetahuan lokal lainnya haruslah menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan.
Terakhir, catatan ini merupakan sebagian kecil “rekaman” tentang cara masyarakat Atoin Meto dalam berhitung. Tentu, masih terlalu jauh dari apa yang diharapkan. Untuk itu, diharapkan usaha dari generasi muda Atoin Meto dalam mengumpulkan kisah,cerita-cerita, dan berbagai gambaran mengenai kehidupan Masyarakat Atoin Meto pada masa silam.
Sumber
* Damasius sasi. Perubahan Budaya Kerja Pertanian Lahan Kering Atoni Pah Meto Di Kabupaten Timor Tengah Utara. Paradigma Jurnal Kajian Budaya, Pascasarjana UNDANA, Vol. 6 No. 2 (2016).
* Ikhwanudin. Pembelajaran Matematika Berbasis Kearifan Lokal Untuk Membangun Karakter Bangsa. Jurnal Pendidikan Matematika Vol 6 No 1, Maret .2018.
* Agusthanto A. Makna Dan Simbol Dalam Kebudayaan. Fakultas Ilmu Dan Budaya ULK, Jurnal Ilmu Budaya, Vol. 8. 1. (2011)