Makanan dipiring itu belum juga habis. Ketika saya mendengar suara yang samar-samar dari kejauhan.
"Awuaa..wuaaa. Awuaa..wuaaa."
Saya berhenti mengunyah nasi, mengarahkan telinga ke arah jendela, dan ...suara itu tak terdengar lagi. Kecuali suara dua ekor babi dibalik dapur yang entah kenapa tak pernah kenyang.
Saya kembali mengunyah nasi, mengambil sepotong ikan, menggigitnya, lalu melemparkan tulangnya kebawah. 2 ekor anjing saling gigit, berebut tulang di bawah meja.
"Usir itu anjing," teriak ibu dari uembubu [1].
"Huuuss..Asu la'i (anjing ini)". Saya berdiri sambil menendang anjing-anjing itu. Ketika saya hendak kembali duduk, suara itu kembali terdengar.
"Awuaa..wuaa. Awuaa..wuaa."
Kali ini suara itu terdengar jelas. Saya mengenal suara itu. Itu suara Tinus. Ia memberi isyarat agar saya segera menemuinya di ujung setapak.
Saya lalu berdiri sambil melangkah ke dinding yang membatasi ruang makan dan dapur. Saya membungkuk, menutup salah satu mata, dan melihat kearah dapur melewati sebuah lubang sebesar ibu jari.
Dari celah dinding, saya melihat ibu sedang sibuk meniup api. Mata-nya sedikit tertutup. Kepulan asap membuatnya keolahan. Potongan-potongan kayu itu seakan sedang mempermainkannya. Beberapa kali asap mengepul, tapi kayu-kayu itu tak hendak menyala. Setiap ia menarik napas dan menghembuskannya ketengah tungku, selalu terdengar suara batuk beberapa kali. Disebelah ibu,terlihat seekor ayam sedang menatap ibu dengan rasa iba.