Mohon tunggu...
Ninik Kania
Ninik Kania Mohon Tunggu... -

Individualisme adalah ilusi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lingkaran

2 November 2014   20:03 Diperbarui: 12 Oktober 2016   06:39 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada setumpuk kantuk yang menempel di sela-sela bulu matanya waktu ia terbangun. Lingkaran hitam besar menggantung seperti eye shadow yang terpoles janggal. Berkali-kali ia menguruti pelipisnya yang berdenyut terlalu sering, pusing. Kemudian mulutnya menggerundel, memaki kafein yang ia tenggak banyak-banyak tadi malam.

“Ugh, muka lo jelek mampus!” Kadek mengomentari kekusutan muka sobat kontrakannya itu, buru-buru ia melempar handuk demi menutupi penampakan di hadapannya yang merusak mata.

“Elo tuh, udah mandi aja kayak tahi!” Ian balas menghardik sambil dengan serampangan melempar kolor bermotif bibir ke muka Kadek. Kadek tergelak, dengan tidak tahu malunya ia malah memutar-mutar benda itu di di udara untuk kemudian ia kembalikan ke muka si empunya.

“Makan tu tahi! Hahaha..!” Ian batal membalas kelakuan imbesil Kadek yang sudah ngacir ke kamarnya, alih-alih ia malah tersenyum sambil melenggang ke kamar mandi. Wangi hutan cemara segera merangsek ke dalam hidungnya, sisa-sisa panas bekas Kadek masih menempel di udara kamar mandi.

Diraihnya sikat dan pasta gigi dari keranjang yang menggantung di samping shower, sejurus kemudian ia baru sadar kalau pasta giginya baru dan dengan merek yang baru pula. Ian kembali cengengesan, mengingat sekelebat percakapannya tadi malam dengan Kadek soal memulai semuanya dari awal, dengan sesuatu yang baru. Anak itu benar-benar niat membantu rupanya, sampai detil-detil kecil juga ikut-ikutan ia rubah.

Ian mulai melamun saat busa-busa berperisa mint itu memenuhi mulutnya, pantulan semrawut dirinya di cermin tidak lagi sepenting hari-hari kemarin. Ia berharap hari ini hujan, atau minimal mendung agar ia merasa semesta ikut berduka atas hatinya yang patah. Namun kenyataannya kota Bandung tetap tersenyum cerah seperti biasa.

Kini matanya mulai fokus, mendapati mata di sebrang sana juga fokus memelototinya, busa pasta gigi masih menempel di sekitar bibir dan dagunya. Ian menyingkap anak rambut yang kian melebat menutupi jidatnya, menariknya ke belakang kemudian meludah, berkali-kali.

Keran wastafel kini bergemuruh, Ian berkumur-kumur sekeras yang bisa mulutnya lakukan, dengan asumsi bahwa kegiatan tersebut mampu menghanyutkan setiap jejak kecupan dari sang mantan kekasih, sampai akhirnya Ian capek sendiri, lalu ia muntahkan air keran bercampur busa itu ke lorong wastafel.

Ian menggigil saat jemarinya yang pucat melucuti satu per satu pakaiannya, ruangan itu seperti berkomplot menarik paksa setiap kalor yang tersisa dari tubuhnya. Buru-buru ia menghidupkan shower, memutar tuasnya ke tanda merah. Hangat, namun artifisial, karena jauh di dalam sana Ian begitu beku. Bersama dengan jatuhnya tetesan air, imaji pernikahan setelah lulus kuliah yang ia ukir tiap malam dalam do’anya kini ambruk di ujung seucap kata berpisah. Tidak ada benteng yang ia bangun untuk menghalau kekacauan ini, mana ia tahu kalau perempuan yang bertahun-tahun ia kasihi ternyata malah menjadi faktor utama kebangkrutan hidupnya. Tidak yakin apakah masih tersisa remah-remah hatinya yang bisa ia pungut untuk esok hari.

Tidak yakin tesisnya akan terjamah. Apalagi diwisuda bulan Oktober nanti. 

DUK! DUK! DUK!

Tiba-tiba dari luar sana Kadek menginterupsi lewat gedorannya yang bising.

“Yan! Sarapannya gue taro di meja makan!”

“Iya.”

“Gue keluar dulu beli gas!”

“Iyaaa!”

“Jangan bunuh diri!”

“KAMPRET!”

Suara bedebum pintu mengakhiri seulas senyum yang sejenak hadir. Senyap yang tersisa selepas Kadek pergi mendorong Ian kembali menabur lamunan, perih pahit pada robekan lukanya tidak akan habis dalam satu adegan shower-an, ia butuh banyak episode lebih untuk mengekspresikan rasa hancurnya, entah butuh berapa banyak, ia sendiri tidak tahu. Bahkan segala macam kata-kata motivasi yang dicurahkan Kadek tadi malam tidak cukup untuk membungkus sakit hatinya, ia butuh pelampiasan.

Hasilnya, Ian cuma mematung di bawah guyuran shower sampai kulitnya mengkeriput, sambil melakukan seribu satu macam gerakan destruktif dalam kepalanya.

Setengah jam berlalu Kadek baru kembali, stok gas di warung sebelah ternyata habis dan terpaksa ia harus mencarinya sampai jauh, dan selama itu pula Ian masih berdiri menghabiskan air shower, mendengar suara Kadek mengakibatkan jempol kanan Ian dengan refleks memutar tuas ke posisi off,entah karena takut dibilang kelamaan mandi atau mulai masuk angin Ian memutuskan untuk menyambar handuknya dan keluar dari kungkungan kamar mandi, melupakan fakta bahwa ia belum menyentuh sabun apalagi menuang shampoo, kegiatan bersih-bersihnya resmi berakhir di gosok gigi saja.

Di ujung dapur, Kadek yang tengah sibuk dengan regulator menyempatkan diri menoleh ke arah Ian, memastikan tidak ada noda merah mencurigakan ataupun hilangnya anggota tubuh sobat kentalnya itu. Mengingat betapa rusak tampang Ian pasca bangun tidur, mau tidak mau Kadek jadi memikirkan hal yang tidak-tidak selama perjalanannya ke warung tadi. Beruntung bayangan-bayangan gore yang sempat terlintas tidak benar-benar kejadian.

Ian keluar dengan kaus oblong dan celana jeans butut yang sudah dipangkas selutut, menghabiskan sarapannya sambil menatap dingin tingkah Patrick Star dan rekan kuningnya di televisi. Pagi ini Ian absen lari pagi, kakinya tengah berduka, capek, terus-terusan mengejar yang tak pasti.

Ponselnya bergetar, nama adik perempuannya muncul di permukaan layar membawa sebuah pesan.

“Kak Riska ngirim undangan ke rumah.”

Katanya singkat, lengkap dengan foto undangan pernikahan berwarna merah marun bertinta emas yang dengan sekali lihat saja orang pasti tahu kalau undangan itu tidaklah murah.

Satu detik pertama Ian hanya diam, menutup pesan itu lalu kembali menghadap televisi yang tengah menayangkan iklan. Lima detik selanjutnya Ian membawa piring kotor bekas sarapannya ke wastafel. Semenit setelahnya Ian dan Kadek dikagetkan oleh suara bel di depan sana. Seorang Pak Pos tahu-tahu sudah nyengir menyerahkan sepucuk undangan yang persis seperti foto kiriman adiknya, Kadek yang menerima undangan itu. Sementara Ian lebih bernafsu untuk melengos ke dapur, melanjutkan cuci piring.

Sambil bersandar pada buffet, Kadek membuka undangan itu, membaca sekilas nama si mempelai pria yang di belakangnya penuh dengan titel. Nama itu familiar, persis seperti nama seseorang yang ia kenal.

“Lu mau dateng, Yan?” Hati-hati Kadek bertanya.

“Liat ntar.” Ian menjawab dengan suara yang ditegar-tegarkan. Piring di tangannya terasa ratusan kali lebih licin dari biasanya, karena terlalu banyak dikasih sabun.

Sementara di belakang, Kadek sedang megap-megap sambil memelototi undangan, tidak percaya bahwa nama kedua orangtuanya tercantum sebagai orangtua mempelai pria. Mungkin ada banyak pasangan suami istri yang bernama sama dengan ayah-ibunya, tapi pasangan I Gus Pande dan Sri Wahyuni yang mempunyai putera bernama Wayan Alambana Pande? Kepalanya pening seketika, merunut peristiwa-peristiwa janggal yang sekarang menjadi begitu masuk akal. Seketika itu juga Kadek merasa telah ikut andil dalam aksi pengkhianatan ini, dan sekarang menyisakan segunung rasa bersalah yang menunggu untuk diampuni.

Sekali lagi Kadek mengeja satu persatu nama yang tertera di undangan itu, untuk kesekian kalinya mengkonfirmasi bahwa informasi itu tidak salah. Apalagi ketika namanya tercetak di urutan ke empat sebagai jajaran orang yang ‘turut diundang’ semakin sulit untuk dikatakan sebagai kebetulan. Pahit Kadek menelan ludahnya, mencoba jujur.

“Orang ini, calon suami Riska, dia kakak gue.”

Hening diantara mereka begitu mencekik, menahan puluhan kalimat di tenggorokan. Ragu-ragu Ian menengok ke belakang, ke arah Kadek. Dua detik mereka cuma bertatap-tatapan saling mengirim sinyal duka.

“Oh.”

Ian bergegas sambil membawa setumpuk piring, mengembalikannya ke rak lalu menghilang, meninggalkan Kadek yang mematung, menyongsong episode galaunya.

Tidak habis pikir kalau patah hati ternyata bisa menular dalam berbagai bentuk.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun