Mohon tunggu...
k i n i n135
k i n i n135 Mohon Tunggu... Internal Auditor -

Work – life balance 

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jeruk Pecel

4 Januari 2017   11:14 Diperbarui: 4 Januari 2017   11:27 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Memasuki ruang makan para karyawan pagi ini aku menyapa riang, menyalurkan aura positif kebeberapa teman yang sedang menikmati sarapan pagi mereka. Dengan besar hati aku meminta maaf (ini akibat yang harus kuterima dengan lapang dada) kepada rekan atas ketidakpercaayanku  pada ucapannya semalam meski dia sudah mengatakan bahwa dia tidak berbohong, bahkan berusaha meyakinkanku dengan berkata:” apa aku pernah menipumu?” namun sayangnya aku tak cukup yakin, adalah hal kedua.

 Tak mau kehilangan moment kebersamaan saat sarapan aku segera “nyambung” dengan pembicaraan  mereka yang ringan dan sengaja ditimpali dengan  muatan penuh nada  humor, tentu saja ketawa adalah ujungnya.

 Tiba – tiba masuk keruangan rekan kerja perempuan, Nana sambil berkata:”..ini bu ?” kepada ibu yang bertugas memasak makan siang kami seluruh karyawan sekantor, lalu mengulurkan tangannya memberi sebuah jeruk pecel, begitu kami biasa menyebutnya tapi dilihat  dari ukurannya yang super besar jelas itu luar biasa.

Ibu Awan menerima jeruk pecel jumbo tersebut dengan gembira meskipun hanya satu buah saja sambil berkata :” terima kasih mbak, ya benar jeruk kayak gini yang aku maksud, mbak ada pohonnya? Aku mau donk, biar aku tanam diteras rumah..” Pelan tapi jawaban tersebut menyentak Nelaf yang mendengar hingga  lontong sayur yang dikunyah hamper melompat keluar dari mulutnya, karena celetukannya:” sudah dikasih buahnya minta pohonnya pula” Aksis yang duduk disebelah kiri Nelaf tertawa, menimpali:” iya..sudah dikasih hati minta rempela”. Sedang aku yang berdiri mengupas papaya berdiri dikanan Nelaf turut senyam senyum saja..…

Kini semangkuk papaya diatas meja siap kunikmati, aku berdoa mengucap syukur untuk sarapan ragawi tetapi dalam nuraniku berkata lirih (tentu saja Nelaf dan Aksis bakalan tak mendengar) namun suara itu terdengar keras bagiku...jangan ngegas terus tapi ngerem juga..itu!. Karena memang suara itu bukan ditujukan untuk siapa siapa apalagi menghakimi ibuku sendiri..orang tua yang dihormati sebagai  sesame karyawan, melainkan hanya untuk  aku pribadi.  Sarapan pagi yang lengkap, perut kenyang hati senang, mendapat double berkat: sarapan pagi dan sarapan hati.

Terima kasih Tuhan aku dibekali pagi ini,lagi.

Sei Panas 0401

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun