Goresan dari tiap gerak dan lirikan mata yang masih terasa menyayat hati hingga kapan pun akan tersimpan baik dalam memori dari anak-anak kaki langit yang tinggal di Desa Buntu Batu dan Desa Kanna Utara, Kecamatan Bastem, Kabupaten Luwu. Kami kemudian memanggil mereka sebagai "Sahabat Kaki Langit".
Desa ini adalah desa kedua terakhir di ujung Bastem, terletak pada ketinggian 2700-an mdpl. Udara segar yang juga membuat warganya terlihat sangat sehat karena menghirup udara yang sungguh bersih, wah segarnya berasa hingga ke paru-paru.
Kedatangan kami bersama rombongan Sahabat Annisa yang di sambut masyaAllah dengan kehangatan, senyuman yang mendamaikan, serta kopi dan teh hangat dari Kepala Desa Kanna beserta seluruh keluarganya, membuat kami berasa sedang berada di rumah/kampung sendiri. Padahal kami hanya ingin singgah beristirahat di tepi Masjid setelah menempuh perjalanan sekitar 4 jam dari Belopa.
Selesai shalat Jumat, kami melanjutkan perjalanan lagi menuju desa yang sudah berbatasan dengan Toraja dan Enrekang, masyarakat yang melihat kami dari depan rumah atau dari pinggir-pinggir jalan, oh bikin hati ini terharu biru ketika satu per satu lambaian tangan yang dihiasi senyuman tulus dari warga menyambut kedatangan kami, maka jadilah kami bertingkah bak selebriti melambaikan tangan menyapa mereka semua; "Maiki tanta, maiki ambe, haloooooo anak-anak". Teriakan dari atas jeep menjadi pelipur lelah seluruh badan yang terombang-ambing oleh jalanan berliku pula bergelombang.Â
Belumlah cukup kehangatan sambutan dari warga, oleh seorang sahabat baru yang menggunakan motor trail, turun dari motornya langsung menyapa dengan ramah nan santun. Kemudian membawa rombongan ke salah satu rumah warga yang sedang mengadakan pengajian acara kematian kerabatnya. Di rumah ini lagi-lagi kami disuguhkan Kopi, Teh, dan Kue yang disantap setelah menghabiskan lembaran-lembaran JUZ.
Beranjak menaiki jeep dimana dua supir jeep Off-Road super kuat yang sangat bersahabat sudah siap menanjak gas, kembali kami menikmati pemandangan jejeran anak-anak yang menatap riang gembira penuh semangat, maka membungkuklah saya menyamakan ketinggian dan menjulurkan kedua tapak tanganku "Saya Mazra, ayo tepuk tangan saya dengan keras!" dan amazingly mereka gembira sekali menerima kami sebagai sahabat kecil mereka, yang sebenarnya kami menyadari diri sebagai anak kecil yang tenggelam di dalam tubuh manusia dewasa yang juga senang bergembira berlarian di atas gunung.
Hamparan gunung berlapis yang mengelilingi dengan keindahan pepohonan hijau serta awan-awan yang bergelantungan sangat megah, SubhAllah ciptaan-Mu wahai Tuhan Semesta Alam. Perjalanan panjang yang penuh tantangan terlunasi oleh kemegahan alam desa dan kehangatan warganya.
Di atas pendopo kecil, seorang kakek telah menunggu kedatangan kami, lengkap dengan jejeran gelas yang disiapkan untuk kami melepas penat menikmati kopi dan teh panas, ini kenikmatan yang tiada habisnya bersahutan. Dan kejutan lain, ternyata rumah megah milik kakek ini disediakan untuk kami tinggali. Alhamdulillah, sungguh nikmat mana lagi yang harus kami dustakan?Â
Mentari mulai beranjak mengajak bergerak, bersama rombongan kami berangkat ke sekolah SD yang tanahnya adalah tanah wakaf dari sang kakek bernama Kakek Pasau, pemilik rumah yang kami tinggali. Murid di sekolah ini berjumlah lebih dari 100 orang untuk enam kelas, tiga orang guru honor yang hanya bergaji Rp500.000,- per tiga bulan, mengajar estafet dari kelas ke kelas, namun pengabdian mereka sungguh kami cemburui, karena belum mampu berbuat sebanyak kontribusi mereka dalam menjawab masalah-masalah pendidikan di kaki langit.
Sepanjang perjalanan menuju sekolah, anak-anak berbaju seragam pramuka sudah berbaris di pinggir kiri jalan berbatu cadas, menyambut kami yang akan lewat menuju ke sekolah mereka, sambil melambaikan tangan, mereka menyapa "MADAM!" Oooohh mereka telah mengenalku. Oh melting! Semangat mereka menghentak tanah dengan senyum tersibak bersahutan mengejar jip kami, sesekali mereka saling menatap dalam pandangan yang kutafsir bahasa non-verbal yang tersirat seolah berkata "Horree, kita kedatangan tamu di sekolah".
Waktu pun menunjukkan pukul 08:00, anak-anak sudah mulai berdatangan tiba di halaman sekolah. Untuk memaksimalkan waktu, kami pun mengajak anak-anak membentuk lingkaran besar. Saya melihat tiang bendera lengkap dengan bendera merah putih yang belum dikibarkan, sontak mendadak, saya memberikan aba-aba, buat barisan upacara bendara. Anak-anak pun berlarian membentuk barisan yang rapih. "Siaaaaap Grak!", suara tegas dari salah seorang rombongan kami yang terdengar di ujung barisan, meniupkan energi besar untuk kami menegapkan badan. Â "Kepada bendera merah putih, hormaaaaaaat grak!"Bulu kuduk pun merinding, di hias air mata yang mengucur deras dari mata-mata kami, menyanyikan lagu Indonesia Raya untuk mengiringi pengibaran bendera dengan penuh khidmat.Â
Dan ketamakan kita warga kota yang gemar mengeluhkan naiknya harga listrik, atau menipisnya rekening setelah belanja popok anak, atau meningkatnya harga kartu / paket data internet, dan kebutuhan sembako pengisi kulkas dua pintu di swalayan ber-AC. Kekurangan di dalam kerakusan dan rasa manja, harusnya malu kepada para bocah kaki langit yang berteriak pagi tadi "kami ingin pintar, kami ingin sekolah!" Mereka berjalan berkilo-kilo meter tanpa alas kaki demi semangatnya hadir di sekolah.
Masihlah perih hati kami melihat mereka yang gembira hanya karena sepatu, para Ibu guru honorer membisikkan ke telinga "Mereka sudah tidak berbapak tidak pula beribu". Oh Allah yang Maha Pengasih, kekejian apa yang telah kami lakukan sehingga kami begitu lalai selama ini melihat banyak anak-anak dalam kekurangan namun kami begitu mudah membuang-buang uang kami.
Belopa, Kabupaten Luwu Sulawesi Selatan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H