Mohon tunggu...
Mazra Yasir
Mazra Yasir Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Queen, Mama, dan Tuhan

29 Maret 2019   13:21 Diperbarui: 29 Maret 2019   13:51 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Freddie Mercury and his parents (source: https://www.pinterest.com/)

Mata udah mulai senyap-senyap, gonggongan anjing bersahutan di sudut kebun menambah syahdu dini hari yang senyap. Meneguk segelas kopi strong yang di seduh ala Vietnam Drip 4 jam sebelumnya, membuat mata ini menyala terang bak handphone full charge, dalam kegamangan, teringatlah percakapan antara saya dan Efa Zeppellini, seorang teman berkebangsaan Italia yang tinggal di rumah kami sejak tiga minggu silam bersama dua orang anak manisnya.

Kami banyak membicang topik-topik pendidikan anak, termasuk beberapa metode belajar untuk anak yang populer di kalangan pendidik anak usia dini, sebutlah Montessori yang ditemukan oleh Dr. Maria Montessori dari Italia pada tahun 1900, dan pendidikan Waldorf yang digagas oleh Rudolf Steiner, seorang filsuf asal Austria pada tahun 1919, termasuk sesekali membahas sistem pendidikan di beberapa negara di Asia Tenggara dan di Jerman tempat Efa bersama keluarganya menetap. 

Kemudian terbersitlah saya mencari beberapa film pendidikan anak yang bisa menambah wawasan pikir sebagai seorang pendidik yang berkecimpung di dunia anak, beberapa judul film pendidikan yang telah beberapa kali saya tonton seperti, Inside Out, Every Child is Special, Captain Fantastic, Gifted, Freedom Writer, Monalisa Smile, kesemuanya adalah sumber referensi dari film yang sangat memudahkan saya memahami sisi-sisi menarik dunia pendidikan dari berbagai belahan dunia. 

Pencarian berlanjut dengan key word "Film Wajib Tonton 2019", dan top rating selalu muncul di laman paling top yaitu "Bohemian Rhapsody". Sebenarnya saya tidak begitu tertarik dengan film-film keluaran Hollywood dengan karakteristik heroik futuristik yang minim rasa. Namun film ini agak membuat saya penasaran melihat traillernya, padahal perasaan under-estimate itu sudah membayangi, "ah palingan kalau udah nonton traillernya udah tahu keseluruhan ceritanya", dan lagi-lagi perasaan penasaran bertambah saat mengingat lirik bismillah di dalam lagu Queen, dan lirik "mamamia" yang tak lagi asing ditelinga karena setiap hari mendengarnya dari Efa bersama anak-anaknya. 

Awalnya menasar lama-lama menaksir, mungkin ini yang membuat mata terang saya bertahan hingga pagi hari pukul 05:00 demi menyelesaikan film keren ini, Rami Malek  yang memerankan Freddie Mercuri pun saya anggap tak memiliki cacat barang secuil, sejak awal hingga akhir seluruhnya apik dan sempurna. Satu-satunya film hollywood yang mampu membuat mata saya bercucur air mata hingga tiga kali. Karena rasa yang ditinggalkan begitu kuat, pula inspirasi yang saya dapat dengan melihatnya dari sudut pandang pendidikan, maka saya merasa perlu  menarasikannya menjadi memori indah yang akan saya kenang. 

Freddie yang lahir dari keluarga India yang kemudian pindah ke Inggris, dibesarkan oleh seorang Ibu yang penuh cinta menerima keunikannya. Dengan 4 gigi depan yang menonjol tak menjadikan dirinya hilang rasa percaya diri, dan menjadikan keunikannya sebagai berkah yang pada akhirnya mengantar dirinya menjadi seorang legenda dunia. Meski ejekan, cercaan sebagaimana dia ungkapkan di dalam lirik lagu "We Are The Champion" malah mampu dia lahap menjadi energi sempurna menjadi seorang juara. 

Keputusannya mengorbankan cinta tulus seorang Mary demi pemenuhan hasrat seksualnya yang menyimpang sebagai seorang Gay, yang pada akhirnya karena keserakahan, ketenaran, keangkuhan, dan kepuasan seksualnya yang menyatu padu menjadi penyebab dirinya harus meninggal muda karena penyakit AIDS. Di titik inilah, saya tak mampu membendung air mata saat dirinya merasa ingin kembali kepada sang Ibu, di mana seorang pecinta bernama Mary yang selalu setia meski dikhianati tetap mendukung dan menjadi pengetuk jiwanya yang gersang dalam gelimang kemewahan dunia, "Mereka tak tulus mencintaimu, maka kembalilah, kembalilah ke rumah Freddie". Kata Mary. 

Dia gamang tak berkutik, bahwa rumah tempat kembalinya adalah mereka yang senantiasa tulus tanpa pamrih mencurahkan kasih sayangnya melintas ruang dan waktu.  Sang Ibu dan keluarganya akan menunggu kembalinya jiwa-jiwa yang lelah mengejar dunia. Kekosongan jiwanya pun dilampiaskan melalui lirik penuh makna, yang masih bingung akan kehidupannya nyata ataukah hanya fantasi, yang kecewa pada dirinya sendiri dan tak tega melihat ibunya menangis karena ketersesatanya dalam lingkaran syaitan yang tak mampu dirinya membebaskan diri, emosi meluap dalam lagu Bohemian Rhapsody, berikut liriknya.

Is this the real life?

Is this just fantasy?

Caught in a landslide, No escape from reality

Open your eyes, Look up to the skies and see,

I'm just a poor boy, I need no sympathy

Because I'm easy come, easy go, Little high, 

little low Any way the wind blows 

doesn't really matter to me, to me


Mama, just killed a man, 

Put a gun against his head

Pulled my trigger, now he's dead

Mama, life had just begun

But now I've gone and thrown it all away

Mama, ooh, Didn't mean to make you cry

If I'm not back again this time tomorrow

carry on, carry on as if nothing really matters .

Film ini menjadi inspirasi bahwa kasih sayang seorang Ibu akan menjadi pelipur lara bagi anak-anaknya yang terbang mengepak sayap demi mencapai cita dan hasratnya, dengan segala pilihan hidup yang akan dilakoni anak-anaknya, ibu tetaplah ibu, yang siap menengadahkan tangganya, dekapannya menunggu anak-anak tercinta mereka pulang setelah tersesat dengan hasrat tanpa batasnya, di mana titip klimaks pencapaian dunia, Ibu senantiasa hadir dalam cinta yang melimpah untuk membantu anak-anaknya menemukan Tuhan. Yang bahkan seorang Freddie saja merasa tak pantas dilahirkan ke dunia, sebagaimana luapan rasanya di lirik selanjutnya: 

Goodbye, ev'rybody, I've got to go

Gotta leave you all behind and face the truth

Mama, ooh, I don't want to die

sometimes wish I'd never been born at all

Dia lelah, alur musik yang mendayu di awal, sebagai seorang awam ingin menggambarkan perasaan Freddie yang awalnya tenang, kemudian mencapai klimaks karir musik bersahut seriosa, kemudian irama kembali melemah seolah ingin menyampaikan kepada dunia, bahwa saya lelah dan ingin membebaskan diri dari jeratan syaitan terkutuk di dalam diri.


(Oh mama mia, mama mia.) 

Mama mia, let me go

Beelzebub has a devil put aside for me, for me, for me 

Yang akhirnya dirinya menyadari bahwa kesuksesan dan limpahan hartanya tak pula mampu menghalangi kematian menjemputnya, dan Tuhan boleh jadi sedang dicarinya melalui agama-agama yang ingin coba dipelajarinya termasuk ketika dirinya membuat dunia bingung dengan arti kata "Bismillah". Dia yang unik, dia yang cerdas, dia yang jujur mengakui penyimpangannya, tetap menjadi legenda yang menyimpan banyak misteri. Namun Ibunya menjadi pemeluk jiwanya yang mungkin lelah menemukan siapa Tuhannya, sebagaimana menjadi penutup di dalam lagu sepanjang masa miliknya, berikut ini: 

So you think you can stone me 

and spit in my eye

So you think you can love me and leave me to die

Oh, baby, can't do this to me, baby

Just gotta get out, just gotta get right outta here


Nothing really matters, Anyone can see

Nothing really matters

Nothing really matters to me 

Belopa, 29 Maret 2019

Mazra Yasir Ashar Sabry

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun