Mohon tunggu...
Moh Arie Setyawan
Moh Arie Setyawan Mohon Tunggu... Penulis - Writer

Freelance Writer

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Toleransi Tanpa Batas Menghancurkan Keharmonisan Masyarakat

1 Juni 2023   20:49 Diperbarui: 1 Juni 2023   20:51 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: bdkjakarta.kemenag.go.id

Di era milenial saat ini, benar-benar sangat membuat frustrasi. Bagaimana tidak, Kita memasuki era di mana kita harus toleran terhadap kepercayaan dan ucapan orang karena jika tidak, mereka akan mendatangkan malapetaka.

Apakah kalian tahu apa yang saya bicarakan? Orang cenderung mengacaukan emosi dengan fakta. Realitas dari situasi ini adalah bahwa sepanjang sejarah manusia setiap kali ada kekacauan, hanya logika yang berlaku.

Semalam saya bercakap-cakap dengan teman-teman saya dan setelah sekian hisapan rokok. Beberapa percakapan filosofis yang berat terjadi.

"Lalu artinya,,,Kesetaraan gender atau nafsu perempuan?"

Setelah hampir 1 jam berdebat, kita mulai beralih membicarakan fanatisme agama yang terjadi akhir-akhir ini. Dan bagaimana orang-orang perlahan mulai menjadi lebih toleran dari yang seharusnya. Toleransi dianggap sebagai nilai penting dalam membangun masyarakat yang harmonis dan menghargai perbedaan.

Hal ini mengingatkanku tentang paradoks toleransi dari Karl Popper. Ia mempertanyakan apakah toleransi yang terlalu luas dapat mengancam prinsip-prinsip dasar toleransi itu sendiri?

Karl Popper adalah seorang pemikir liberal yang dikenal dengan konsep "masyarakat terbuka," mengemukakan pandangannya tentang paradoks toleransi dalam bukunya yang terkenal, "The Open Society and Its Enemies". Dia berpendapat bahwa jika kita benar-benar mempraktikkan toleransi yang mutlak, tanpa batas, maka kita beresiko menghancurkan nilai-nilai yang ingin kita jaga.

Dalam bukunya, Popper menjelaskan bahwa toleransi yang tidak membatasi dirinya pada ideologi yang menentang toleransi akan menjadi alat yang digunakan oleh kelompok otoriter untuk menghancurkan prinsip-prinsip demokrasi dan kebebasan. Dalam arti lain, jika kita memberikan ruang yang tak terbatas bagi pemikiran yang intoleran, maka pemikiran-pemikiran tersebut dapat mengambil kendali dan akhirnya menghilangkan toleransi itu sendiri.

Sumber: balairungpress.com
Sumber: balairungpress.com

Mungkin kalian agak bingung. Coba kita ambil contoh sederhana untuk memahami paradoks toleransi ini.

Coba bayangkan! kalian sedang bermain game di mana setiap orang dapat membagikan ide dan pendapat mereka. Karena Toleransi berarti kalian baik-baik saja dengan orang lain yang memiliki ide berbeda, bahkan jika kalian tidak setuju dengan mereka.

Simpelnya seperti mengatakan, " Tidak apa-apa, kamu bisa berpikir dan bertindak berbeda, kami menerima semua orang di sini".

Tetapi bagaimana jika orang-orang ini mulai mengatakan hal-hal seperti, " Tidak baik menerima tipe orang seperti ini, mereka terlalu berbeda dari kita, mereka tidak dapat memahami kita, dan mereka tidak pantas berada di sini "?

Haruskah kita mentolerir perilaku ini?

Paradoks toleransi mengatakan bahwa jika Anda terlalu toleran dan membiarkan pemain ini terus menyebarkan ide-ide intoleran mereka, pada akhirnya mereka mungkin mendapatkan kekuatan dan mencoba menghilangkan toleransi.

Dengan kata lain, jika terlalu banyak mentolerir intoleransi, hal itu dapat menyebabkan kehancuran masyarakat yang toleran.

Dalam istilah yang lebih sederhana, paradoks toleransi memberi tahu kita bahwa kita tidak boleh membiarkan ide-ide jahat atau berbahaya mengambil alih, bahkan jika kita percaya untuk bersikap toleran. Kita perlu menetapkan beberapa batasan untuk melindungi nilai-nilai keadilan dan kebaikan.

Harus ada keseimbangan antara membiarkan perbedaan pendapat dan berdiri melawan ide-ide intoleran yang dapat merusak fondasi toleransi dan kebebasan.

Jadi agar kalian dapat menghilangkan orang-orang yang tidak toleran yang membuat hidup kalian seperti neraka, kalian harus tidak toleran.

Sedikit mindf*ck bukan? Makanya disebut paradoks toleransi.

Coba kita sederhanakan lagi, Jika kalian memperhatikan dengan seksama orang-orang dari kelompok mayoritas saat ini, kalian akan melihat bahwa mereka ingin semua orang menjadi toleran, tetapi mereka sendiri sangat tidak toleran terhadap ideologi dan kepercayaan yang berbeda dari orang-orang minoritas.

Sumber: bridgemanimages.com
Sumber: bridgemanimages.com
Lalu, Bagaimana solusi yang diajukan oleh Karl Popper terkait paradoks toleransi ini? Dia mengusulkan prinsip "toleransi terbatas terhadap orang yang intoleran". Artinya, ketika kita berhadapan dengan kelompok-kelompok yang secara aktif berusaha menghancurkan prinsip-prinsip toleransi, kita perlu menentang mereka dan membatasi toleransi kita terhadap mereka. Ini adalah bagian dari apa yang Popper sebut sebagai "paradoks toleransi".

Meskipun toleransi dianggap sebagai nilai yang penting dalam membangun masyarakat yang harmonis, Popper menekankan bahwa toleransi yang tidak dibatasi dapat menjadi senjata yang digunakan oleh kelompok intoleran untuk menghancurkan prinsip-prinsip demokrasi dan kebebasan.

Selain itu, kita juga perlu mengakui bahwa masyarakat yang sepenuhnya tertutup terhadap pandangan yang berbeda juga dapat berbahaya. Toleransi yang sehat dan konstruktif melibatkan kemampuan untuk mendengarkan, berdialog, dan memahami pandangan yang berbeda tanpa harus setuju dengan mereka. Ini memungkinkan masyarakat untuk berkembang melalui pertukaran gagasan dan penemuan solusi yang lebih baik.

Dalam konteks paradoks toleransi Karl Popper, kita harus berjuang untuk menemukan keseimbangan antara toleransi yang memungkinkan kebebasan berpendapat dan menghargai perbedaan, sambil tetap mengakui batas-batas yang diperlukan untuk melindungi nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia, dan kehidupan harmonis bersama.

Dan meskipun ada batasan yang perlu diterapkan pada toleransi terhadap kelompok intoleran, kita juga perlu berhati-hati agar tidak jatuh ke dalam ketidakmampuan mendengarkan dan memahami pandangan yang berbeda. Dalam menjaga keseimbangan ini, pendidikan dan pemahaman yang lebih dalam tentang nilai-nilai demokrasi akan menjadi kunci untuk membangun masyarakat yang inklusif dan harmonis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun