Mohon tunggu...
christi kevin kyken
christi kevin kyken Mohon Tunggu... Petani - Warrior God of Agriculture

- Senang berimprovisasi - Sedang berlatih untuk berpikir kritis dan open minded - Sangat ingin menjadi ahli botani, arsitek pertanian dan filsuf

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Revolusi Hijau Part 2?

24 Juni 2022   13:08 Diperbarui: 24 Juni 2022   14:35 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi

Indonesia dikenal sebagai negara agraris. Sebutan seperti itu sudah umum dikenal masyarakat sejak pendidikan dasar di mata pelajaran sosial tingkat awal. 

Banyak kisah sejarah yang menuliskan sebutan itu. Mereka bilang dimulai sejak masa prasejarah, atau sejak awal zaman kerajaan Hindu Budha, atau sebagainya, sehingga membuat khalayak menerimanya. Namun sekarang julukan itu tidak lagi relevan dengan Indonesia yang sekarang.

Apabila negara agraris didefinisikan secara sederhana maka negara agraris  adalah negara yang  mayoritas penduduknya bermata pencaharian petani, maka Indonesia masih relevan dengan sebutan itu. 

Tetapi apabila definisi negara agraris adalah negara yang perekonomiannya tergantung pada sektor pertanian maka, sebutan itu jugs tidak lagi relevan. Menurut Riwanto (2007), pertanian menjadi sektor yang menopang perekonomian di negara agraris.

Sesuai data BPS triwulan-III di 2019, ekonomi Indonesia masih ditopang oleh sektor industri  dengan pencapaian sebesar 19,62 %. Sedangkan pertanian berada dibawahnya dengan pencapaian sebesar 13,45 %. Hal ini dikarenakan rasio lahan dan SDM tidak lagi ideal. 

Mantan wakil menteri pertanian, Bayu Krisnamurthi, saat ini land man ratio Indonesia 0,2 hektare lahan pertanian per orang. Angka rasio itu terus menurun. Lahan sebesar itu dipakai untuk menanam padi, berkebun, peternakan sapi, dan sebagainya.

Belum lagi pengurangan lahan pertanian terutama sawah akibat pembangunan infrastruktur, pabrik maupun perumahan. Salah satunya yaitu penggusuran ratusan sawah produktif petani di Batang, Jawa Tengah untuk membangun PLTU. Menurut Hardjowigeno (2005), untuk pembuatan lahan sawah membutuhkan waktu 5-10 tahun.

Dengan banyaknya faktor-faktor yang membuat Indonesia kehilangan ciri khasnya sebagai negara agraris, maka dibutuhkan ide baru untuk mengembalikan julukan Indonesia itu. 

Pada jaman Pak Harto, beliau berusaha sangat keras dalam membangun pertanian di Indonesia dengan kebijakannya yang  baik. Beberapa program pertanian pada era Pak Harto yaitu:

1.            Pak Harto melakukan investasi besar-besaran untuk infrastruktur pertanian seperti pembuatan waduk, bendungan, dan irigasi.

2.            Menyediakan sarana penunjang seperti pupuk yang dimana petani akan mudah mendapatkannya dengan kredit bank.

3.            Memperkenalkan teknologi pertanian kepada petani melalui penyuluhan dan temu wicara antar petani, nelayan dan peternak oleh mentri pertanian atau Pak Harto sendiri

Hasil kerja keras beliau membuahkan hasil, pada tahun 1966 Indonesia menjadi pengekspor beras terbesar, mampu mencukupi pangan dalam negeri melalui swasembada pangan pada tahun 1984 dari 12,2 juta ton beras menjadi 25,8 juta berat.

Namun dibalik suksesnya Pak Harto dalam swasembada pangan, ada fakta kelam yang menyelimutinya. Pada jaman Pak Harto terjadi penggunaan pupuk kimia dan pestisida kimia secara berlebihan dan keseterusan. 

Hal ini disampaikan oleh Mbah Gatot Surono sebagai pakar pertanian alami yang ditahan oleh tentara koramil pada era orde baru karena tidak mau memakai pupuk dan pestisida kimia. 

Menurut pengamat pertanian Didin S. Damanhuri, swasembada pangan hanya bersifat sementara. Jelas swasembada pangan itu bersifat sementara karena efek samping dari penggunaan pupuk dan pestisida kimia yang berlebihan. 

Menurut Maryunani (2018), penggunaan pupuk dan pestisida kimia membuat organisme baik di dalam tanah mati sedangkan hama menjadi makin kebal. Hama melakukan semacam evolusi sehingga menjadi kebal dari pestisida.

Revolusi hijau II dapat menjadi solusi untuk membuat Indonesia mendapatkan kembali ciri khasnya sebagai negara agraris. Revolusi hijau II mencakup dua hal yaitu permasalahan lahan pertanian terutama sawah dan input pertanian terutama pupuk dan pestisida. 

Untuk masalah lahan pertanian sawah, diperlukan pembuatan sawah-sawah baru bersamaan dengan peraturan yang mengatur tentang pelarangan pembangunan diatas sawah.

Revolusi hijau II dilakukan dengan penggantian pupuk dan pestisida kimia menjadi pupuk dan pestisida organik. Penggantian pupuk dan pestisida ini juga bisa menaikkan angka produksi hasil pertanian di Indonesia. 

Pabrik pupuk dan pestisida  organik bisa dibangun dan dapat memenuhi kebutuhan petani. Adanya pemberian kredit bagi petani terhadap pupuk dan pestisida organik yang disediakan

Revolusi hijau II juga mencakup permasalahan lahan pertanian terutama sawah. Lahan pertanian terutama sawah biasanya dialihfungsikan menjadi perumahan, pabrik, infrastruktur dan lain-lain. Perlu dibuat peraturan yang tegas tentang peralihan fungsi lahan pertanian terutama sawah. 

Sawah-sawah produktif tidak boleh dialihfungsikan menjadi hal lain. Selain itu pembuatan sawah-sawah baru juga bisa dilakukan mulai dari sekarang. Dengan pembuatan sawah yang baru, petani mempunyai sawah baru untuk menanam. Dengan begitu hasil produksi padi bisa bertambah banyak.

Untuk melaksanakan program ini dibutuhkan pihak -- pihak yang dapat membantu dan menjalankan program ini. Berikut pihak -- pihak yang terlibat:

1. Pemerintah

Pemerintah terutama menteri pertanian berperan dalam pembuatan kebijakan-kebijakan atau peraturan-peraturan tentang peralihan lahan pertanian terutama sawah-sawah produktif. 

Kemudian penyediaan dan perijinan lahan baru terutama sawah baru. Pemerintah juga bisa membuat pabrik-pabrik untuk memproduksi pupuk dan pestisda organik bagi petani serta memberikan kredit untuk mendapatkannya.

2. Peneliti

 Peneliti berperan dalam membantu pemerintah untuk penelitian pupuk dan pestisida organik. Peneliti bisa memberikan informasi tentang dosis pupuk dan pestisida yang baik. Dengan begitu hasil produksi pupuk dan pestisida kimia dibandingkan dengan pupuk dan pestisda organik setidaknya bisa sama atau lebih.

 3. Ahli Tanah

Ahli tanah berperan dalam membantu pemerintah untuk pembuatan lahan pertanian baru terutama sawah-sawah. Ahli tanah akan menganalisis tanahnya sehingga dapat diolah menjadi sawah-sawah baru. Ahli tanah juga bisa memberikan dosis pupuk dan pestisida organik untuk sawah.

4. Penyuluh

 Penyuluh berperan dalam pemberian informasi dan mengarahkan kelompok tani. Penyuluh harus memberikan informasi buruknya pertanian menggunakan pupuk dan pestisida kimia. 

Penyuluh juga akan memberikan informasi seputar pupuk dan pestisda organik yang sebelumnya sudah diteliti oleh peneliti. Penyuluh juga bisa mengarahkan kelompok tani agar menggunakan pupuk dan pestisida organik.

 5. Kelompok Tani

Poktan berperan dalam eksekusi pertanian. Poktan harus melakukan pertanian yang sehat dengan menggunakan pupuk dan pestisida organik. Poktan bisa membuat pertanian di Indonesia menjadi negara agraris kembali dengan hasil produksi mereka

Revolusi hijau II perlu dilaksanakan agar produksi hasil pertanian di Indonesia dapat terus meningkat tanpa merusak lahan dan lingkungan. Dengan lonjakan produksi hasil pertanian Indonesia bisa kembali menjadi negara agraris sesuai julukannya dahulu.

DAFTAR PUSTAKA

Tirtosudarmo, Riwanto. 2007. Mencari Indonesia: Batas-batas Rekayasa Sosial. Yogyakarta: LIPI.

Hardjowigeno, Sarwono. 2005. Tanah Sawah. Malang: Bayumedia.

Maryunani. 2018. Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pengembangan Ekonomi Secara Berkelanjutan. Malang: UBPress.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun