Ibu pertiwi berduka ketika gunung Semeru bererupsi pada 4 Desember kemarin. Peristiwa ini telah memberikan pilu mendalam bagi masyarakat Indonesia, terutama para korban yang terdampak. Bencana ini mengakibatkan sejumah korban luka-luka, meninggal, dan bahkan ada yang belum ditemukan (hilang).
Selain terhadap manusia, bencana ini juga memberi dampak pada sejumlah hewan ternak, serta tanaman dan lahan yang ada di kawasan Semeru. Yakni dari banjir lahar dingin yang membawa berbagai material vulkanik. Sebagian besar komunitas tanaman yang terkena banjir lahar dingin itu rusak parah dan bahkan mati, baik itu tanaman liar, maupun tanaman komoditas.
Padahal seperti yang kita ketahui bahwa sebagai masyarakat yang tinggal di negara agraris memiliki slogan 'sedhumuk bathuk senyari bumi' yang bermakna sejengkal tanah adalah kehidupan. Tentu saja recovery lahan pasca bencana menjadi sangat penting untuk keberlanjutan kehidupan masyarakat. Namun alam itu diciptakan Tuhan secara jenius, alam bahkan memiliki mode untuk autorecovery melaui perantara yang alamiah juga.
Berbicara tentang recovery lahan pasca bencana, maka kita akan mengenal istilah suksesi. Suksesi sendiri menurut Odum, dimaknai sebagai hasil modifikasi lingkungan fisik oleh komunitas spesies. Jadi, sederhananya, pasca terjadinya sebuah bencana alam yang merusak lingkungan fisik, alam dengan sendirinya akan mulai melakukan modifikasi dan recovery sampai terjadi kembali keseimbangan lingkungan. Sungguh, kita bisa memetik banyak ilham dari peristiwa suksesi ini.
Model Suksesi dan Karakter Manusia Penggerak
Spesies yang pertama akan tumbuh dalam proses suksesi ini dialah yang disebut sebagai spesies pionir. Spesies yang kemudian akan merintis pertumbuhan spesies lainnya. Ibarat dalam kehidupan masyarakat, figur pionir merupakan figur penggerak dan pemrakarsa di lingkungannya, tentu saja untuk mencapai sebuah visi yang seia sekata.
Tetapi jangan salah, suksesi memiliki model-model yang ternyata tidak melulu soal recovery alam yang saling support. Model suksesi pertama, kita kenal dengan model fasilitasi. Model fasilitasi memungkinkan modifikasi lingkungan yang terjadi menciptakan situasi kondusif bagi spesies pionir yang akan menguntungkan bagi bertumbuhnya spesies lain pasca bencana yang merusak secara total.
Model selanjutnya adalah model toleransi. Proses modifikasi lingkungan yang diperuntukkan bagi spesies awal suksesi tidak meningkatkan ataupun menurunkan rekrutmen dan pertumbuhan spesies yang akan datang, atau bisa dibilang netral.
Model suksesi yang ketiga ini, yang tampaknya paling egois, yakni model penghambatan. Koloni awal mengamankan ruang dan/atau sumber daya yang menguntungkan baginya. Kemudian menghambat invasi berikutnya oleh spesies lain atau menekan pertumbuhan spesies yang menyerang pada saat yang sama.
Rupanya, bukan hanya dalam kehidupan manusia saja tiga simbion tersebut terjadi. Ada sebagian manusia yang dalam situasi sulit akan menjadi penggerak untuk menjembatani situasi kondusif bagi orang-orang sekitarnya. Semacam menebar positive vibes. Ada sebagian juga yang keberadaannya tidak terlalu memberikan perubahan signifikan, namun tetap berupaya dengan tanpa merugikan orang lain.
Tipe ketiga inilah yang paling egois. Tipe semacam ini, akan mengamankan segala sesuatu untuk kepentingan pribadinya dahulu. Lalu melakukan berbagai cara untuk menghambat bagi bergeraknya orang-orang di sekitarnya. Kita juga sering, bukan mendengar kelompok penjarah harta korban, bantuan logistic, penimbun, dan beberapa perilaku tak etis lainnya saat kondisi sulit.