Mohon tunggu...
Holy Ichda Wahyuni
Holy Ichda Wahyuni Mohon Tunggu... Dosen - Dosen FKIP UM Surabaya

Menulis adalah bekerja untuk keabadian (Pramoedya A. Toer)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru Pendidik dan Fenomena Kekerasan di Instansi Pendidikan

25 November 2021   11:09 Diperbarui: 25 November 2021   11:54 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: pixabay.com

Guru menjadi orang tua ke dua bagi seorang anak, begitulah petuah bijak dari zaman dulu hingga saat ini. Frasa 'orang tua' bagi sebagian orang dimaknai sebagai tempat berlindung, tempat yang nyaman untuk mengadukan segala permasalahan, keberadaannya mampu menciptakan rasa aman dan nyaman, kurang lebih seperti itu.

Pernyataan tersebut juga bukan hanya sebatas jargon, namun tentunya ada amanat yang terselip, sebagai harapan bagi kebanyakan orang. Sejauh ini lembaga pendidikan masih dianggap sebagai lembaga mulia yang dipercaya akan mampu membentuk generasi sumber daya manusia dengan intelektual yang dibarengi moral.

Namun ironisnya, ketika melihat data di lapangan, kasus kekerasan yang terjadi di lembaga pendidikan masih relatif tinggi. Sebagian besar, korbannya adalah siswa perempuan. Melansir laporan dari Komnas Perempuan tahun 2015s/d2020 kekerasan terjadi di semua jenjang pendidikan, dan yang menempati posisi tertinggi adalah kasus kekerasan seksual sebesar 88%.

Pada peringatan hari guru tahun 2021 ini, Mendikbudristek mengusung tema bergerak dengan hati, pulihkan pendidikan. Tema ini diusung sebagai semangat bagi guru yang telah berjuang di tengah kondisi pandemi Covid-19 yang melanda masyarakat dunia. Namun, secara tidak langsung tema ini juga sangat relevan dengan kondisi fenomena kekerasan seksual di lembaga pendidikan. Ini juga sekaligus menjadi sebuah warning bagi diri saya pribadi sebagai tenaga pendidik, juga guru/pendidik di manapun berada, untuk bagaimana caranya, mata rantai ini harus diputuskan.

Tidak Ada Bercandaan dalam Bentuk Pelecehan

Segala bentuk kekerasan, dan pelecehan yang menggunung tak jarang berawal dari sebuah pemakluman tindakan berkedok bercandaan. Korban bisa jadi sadar dan bisa jadi tidak sadar ketika menerima perlakuan yang mengandung unsur pelecehan. Tak jarang juga, saat korban mengadukan hal tersebut kepada figure yang dianggapnya mampu memberikan solusi, korban justru dianggap berlebihan. Hal tersebut karena masih menjamurnya pemakluman tindakan pelecehan yang berkedok bercandaan, "Itu, kan, hanya bercandaan saja, jangan dianggap serius, lah." Kalimat yang sering terjadi kurang lebih demikian, ini juga berlaku untuk kasus-kasus perundungan lainnya. Padahal, disadari atau tidak, pemakluman ini justru menjadi pemicu awal untuk berkembangnya tindakan pelecehan lainnya.

Seorang guru, yang bergerak dengan hati, harus lebih responsif dan membangun kesadaran bahwa tidak ada bercandaan dalam bentuk pelecehan. Pelecehan sekecil apapun tetaplah pelecehan yang tidak bisa dianggap sepele. Tidak harus menunggu sebuah perlakuan yang keterlaluan untuk memberikan sebuah tindakan tegas bagi pelaku kekerasan seksual.

Guru adalah Pengajar dan Pendidik

Bukan bermaksud untuk mendikotomi kedua istilah antara mengajar dan mendidik. Akan tetapi dalam membangun kesadaran untuk membentuk sebuah karakter dan/atau untuk mereduksi perilaku amoral, maka amanat mendidik bukan hanya sekedar mengajarkan pengetahuan, ini yang perlu digarisbawahi. Edukasi kekerasan seksual hendaknya dapat diinternalisasikan dalam lingkungan akademik tanpa bias gender. Sebab, korban kekerasan seksual, tidak memandang gender, baik laki-laki atapun perempuan bisa menjadi korban.

Sejak dini, siswa harus dididik, bahwa seseorang memiliki otoritas terhadap tubuhnya yang tidak bisa dengan seenaknya disentuh ataupun dieksploitasi oleh orang lain. Seorang anak memiliki hak dan kemerdekaan untuk berbicara tanpa intimidasi dan kekhawatiran. Concern terhadap pencegahan kekerasan seksual memang sudah sewajarnya diskenariokan secara khusus sebagai bentuk upaya pemulihan pendidikan di negeri ini.

Pelibatan secara holistik semua unsur stakeholder, pengkajian mendalam untuk perbaikan regulasi kekerasan seksual secara detail, pengawalan pelaksanaan menjadi PR besar untuk semua pihak. Di peringatan hari guru nasional  dan hari anti kekerasan perempuan internasional ini, tertoreh harapan, bahwa guru sebagai stakeholder yang bersentuhan langsung dengan anak didik menjadi unsur penting dalam memutus rantai kekerasan ini, memang ini adalah tugas yang berat, sehingga harus dipikul bersama oleh semua pihak.  

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun