Secara etimologi kata risywah berasal dari bahasa arab yang  berarti upah, komisi atau suap.  adapun secara terminology risywah adalah sesuatu yang diberikan dalam  rangka mewujudkan kemaslahatan atau sesuatu yang diberikan dalam rangka membenarkan yang batil/salah atau menyalahkan yang benar
Dalam sebuah kasus risywah setidaknya pasti akan melibatkan tiga unsur utama yaitu pihak pemberi, pihak penerima pemberian tersebut,dan barang bentuk dan jenis pemberian diserahterimakan. Akan tetapi dalam kasus risywah  tertentu boleh jadi bukan hanya melibatkan unsur pemberi, penerimadan barang sebagai obyek risywahnya, melainkan bisa juga melibatkan pihak keempat sebagai broker atau perantara antara pihak pertama dan kedua, bahkan bias juga melibatkan pihak kelima.Â
Misalnya pihak yang bertugas mencatat peristiwa atau kesepakatan para pihak dimaksud, Di antara beberapa definisi risywah, definisi menurut penulis buku  kasyaf al-Qanna'an matn al-iqna' Mansur bin yunus idris al-bahuti, menurut penulis cukup menarik, sebab ia mengemukakan bahwa jika pihak pertama memberikan sesuatu kepada pihak kedua  dalam rangka mencegah pihak pertama agar terhindar  dari kezaliman  pihak kedua dan agar pihak kedua mau melaksanakan kewajibannya maka pemberian semacam ini tidak dianggap sebagai risywah yang dilarang agama.Â
Dalam definisi ini dikemukakan sebuah pengandaian, yaitu seandainya pihak kedua melakukan kezaliman terhadap pihak pertama dan pihak kedua tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban yang seharusnya ia lakukan terhadap pihak pertama, maka dalam masalah ini boleh diberikan sesuatu berupa suap atau sogok.Â
Menurut penulis pernyataan penggadaian seperti ini tidak wajar, sehingga dalam kasus semacam ini tidak perlu diselesaikan dengan cara menyogok atau menyuapnya, tetapi justru sebaliknya diperingatkan, dikritik dan diberikan saran yang  yang baik.senada dengan pengandaian yang dikemukakan oleh al-bahuti di atas, syamsul haq al-azim mengatakan sebaiknya pemberian-pemberian dalam kondisi seperti ini tidak dilakukan terhadap hakim-hakim dan para penguasa, sebab upaya untuk membela pihak yang benarsudah merupakan kewajiban yang harus dilakukan, menolak kezaliman yang dilaksanakan pelaku terhadap obyek (mazlum) juga wajib dilakukan oleh para hakim tersebut, maka tidak boleh mengambil atau memerima pemberian ini
Syamsul haq al-azimabadi dalam pernyataanya mengemukakan bahwa pemberian yang dilakukan dengan niat agar penyimpangan dan penyelewengan pihak penerima bias dirubah semakin baik ini sebaiknya tidak dilakukan dalam masalah peradilan dan pemerintahan , sebab tanpa diberi sogok atau hadiahpun membela dan menegakkan keadilan sudah menjadi tugas hakim dan pemerintah. Maka tidak layak kalau dalam rangka berbuat adil harus memberikan suap. Â
Adapun beberapa hadis tentang risywah yang dibahas oleh para ulama tersebut adalah bahwa laknat Allah akan ditimpa kepada orang yang meyuap dan yang di suap dalam masalah hukum, rasulullah SAW melaknat orang yang menyuap dan yang disuap dan Rosulullah SAW melaknat orang yang menyuap, orang yang disuap dan orang yang menghubungkan, yaitu orang yang berjalan diantara keduanya. Â
Setelah menjelaskan dan mengomentari hadis-hadis tentang risywah di atas dalam paparannya al-syauqani secara jelas mengatakan bahwa kalau ada seseorang yanganggap adanya bentuk bentuk risywah tertentu dan dengan tujuan tertentu yang diperbolehkan maka hal itu harus disertai dengan alas an dan dalil yang diterima. Sebab dalam hadis tentang terlaknatnya para pelaku risywah tidak disebutkan tentang jenis dan kriteria-kriteria risywah
Lebih lanjut al-syauqani kemukakan bahwa diantara dalil yang menunjukkan haramnya risywah adalah penafsiran hasan (al-basri) dan sa'id bin jubair sebagaimana diriwayatkan oleh ibnu ruslan, yang terdapat dalam al-qur'an surat almaidah ayay 42 di pahami oleh keduanya dengan risywah. Tetapi siapapun yang tidak menentukan hukum yang diturunkan oleh Allah maka ia termasuk orang kafir zalim dan fasiq, kemudian ibnu mas'ud berkata, tetapi makna kata al-suht adalah jika ada seseorang yang meminta tolong kepada kalian atas kezaliman orang tersebut kemudian dia memberikan hadiahkepada kalian, maka jangan kalian terima.Â
Dengan redaksi yang sedikit berbeda al-qurtubi mengemukakan riwayat ibnu mas'ud tentang penafsiran kata al-suht adalah seseorang yang membantu meluluskan keperluan kawannyakemudian orang yang ditolong tersebut memberikan hadiah dan diterima oleh pihak yang telah memberikan hadiah itu.
Dalam definisi al-suht riwayat ibnu mas'ud menurut penukilan al-Qurtubi ini tidak dibatasi apakah hadiah diberikan kepada hakim dalam proses pengadilan atau semua jenis hadiah kepada siapapun. Dalam hal ini al-syauqani secara tegas membatasi pada hadiah yang diberikan kepada hakim-hakim, atau pihak-pihak yang berkedudukan seperti hakim.Â
Pendapat pendapat seperti ini oleh al-syaukani dianggap sebagai pendapat bobrok, khususnya uraian al-maghribi ketika mensyarahi hadis risywah dalam kitab bulugh al maram. Bertolak dari prinsip al-syauqani ini, syamsul anwar mengkontekstualisasikan tradisi pemikiran ini untuk kasus di Indonesia. Menurutnya pada zaman sekarang faham seperti ini, akan ikut mendorong lajunya korupsi. Pemberian semacam ini, lebih lanjut ia jelaskan ,eskipun dilakukan oleh pemberi untuk mendapatkan haknya yang sah, akan membawa dampak merusak kepada system pelayanan public berupa memburuknya kualitas pelayanan tersebut.
Klasifikasi risy
Pada uraian sebelumnya telah dikemukakan bahwa setidaknya risywah, suap, ada yang disepakati oleh para ulama dan hukumnya haram, dan ada yang disepakati hukumnya halal. risywah yang disepakati haram hukumnya oleh para ulama adalah risywah yang dilakukan dengan tujuan untuk membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar dengan kata lain suap.Â
Sedangkan apa yang dilakukan mayoritas ulama hukumnya halal adalah suap yang dilakukan dengan tujuan untuk menuntut atau memperjuangkan hak yang mestinya diterima oleh pemberi suap, atau untuk menolak kemadratan, kezaliman dan ketidak adilan yang dirasakan oleh pihak pemberi suap tersbut.
Sanksi hukum bagi pelaku risywah
Adapun berkaitan dengan sanksi hukum bagi pelaku risywah tampaknya tidak jauh berbeda dengan sanksi hokum bagi pelaku ghulul yaitu hokum takzir, sebab keduanya memang tidak termasuk dalam ranah kias dan hudud. Dalam hal ini Abdullah muhsin al-tariqi mengemukakan bahwa sanksi hukum pelaku tindak pidana suap tidak disebutkan secara jelas oleh syari'at (Allah dan Rasul/al-qur'an dan hadis) yang mulia, mengingat sanksi tindak pidana risywah  masuk dalam kategori sanksi-sanksi takzir yang kompetensinya ada ditangan hakim.Â
Untuk menentukan jenis sanksi tentu sesuai dengan kaidah-kaidah hukum islam yang sesuai dan sejalan dengan prinsip untuk memelihara stabilitas hidup bermasyarakat, sehingga berat  dan ringannya sanksi hukum harus disesuaikan dengan jenis tindak pidana yang dilakukan. Disesuaikan dengan lingkungan dimana pelanggaran itu terjadi, dikaitkan dengan motifasi-motifasi yang mendorong sebuah tindak pidana dilakukan. Intinya bahwa risywah masuk dalam kategori tindak pidana takzir.
       DAFTAR PUSTAKA
Irfan, Muhammad Nurul. 2009. Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Dalam Perspektif Fikih Jinayah. Jakarta: Badan Litbang Dan Diklat Departemen Agama RI
Sula, Muhammad Syakir. 2004. Asuransi Syariah(life and general): konsep dan system operasional. Jakarta: Gema Insani
Doi,Abdurrahman I. 1996. Muamalah Syariah III. Jakarta: PT RajaGafindo Persada
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H