Mannheim juga menyebutkan (1952: 289-290) bahwa kesadaran kelas dapat mendorong seseorang untuk mengadopsi pandangan kelas tertentu, yang tidak selalu sama dengan posisi sosialnya. Dalam hal ini, Mannheim melihat bahwa pandangan kelas bukanlah sesuatu yang statis dan tetap, tetapi bisa berubah-ubah tergantung pada perubahan situasi sosial dan sejarah.
Dalam pandangan Mannheim, kelompok-kelompok generasi memiliki pengalaman historis yang berbeda dan cenderung untuk membangun perspektif-perspektif yang berbeda pula. Hal ini dapat berdampak pada perbedaan nilai, keyakinan, sikap, dan perilaku di antara kelompok-kelompok generasi yang berbeda. Oleh karena itu, kesenjangan generasi adalah fenomena sosial yang muncul akibat perbedaan pandangan, nilai, dan sikap antara kelompok-kelompok generasi.
Teori Mannheim mengenai kesenjangan generasi ini kemudian menjadi inspirasi bagi banyak penelitian tentang fenomena kesenjangan generasi selama beberapa dekade ke depan. Banyak peneliti kemudian menggunakan pendekatan Mannheim dan mengembangkan konsep-konsep baru seperti generasi X, generasi Y, dan generasi Z. Konsep-konsep tersebut digunakan untuk memahami perbedaan antar kelompok generasi dalam hal nilai, sikap, perilaku, dan preferensi konsumsi. Konsep-konsep ini terus berkembang hingga saat ini, dan menjadi salah satu topik yang menarik dalam ilmu sosial dan bisnis.
Kesenjangan generasi sering kali dianggap sebagai sebuah konstruksi sosial belaka. Media konvensional dan sosial sering menggunakan istilah-istilah seperti Gen-X, Gen-Y, Milenial, atau Gen-Z. Namun, penelitian meta-analisis pada tahun 2012 menunjukkan bahwa tidak ditemukan perbedaan signifikan antara "generasi" dalam hal karakter individu, bahkan kelompok umur tertentu. Faktor seperti usia dan kepastian kerja lebih berpengaruh pada tingkat kepuasan kerja dan komitmen kerja seseorang.
Penelitian lain menunjukkan bahwa generasi yang berbeda tidak menunjukkan perbedaan yang mencolok dalam hal prioritas hidup dan nilai yang dianut. Ada sedikit perbedaan dalam urutan prioritas dan bobot yang diberikan pada tiap item, namun kecenderungan umumnya serupa.
Beberapa penelitian bahkan mengatakan bahwa teori generasi bukanlah sebuah teori yang dapat difalsifikasi. Dalam paradigma Popperian, sebuah teori yang tidak dapat difalsifikasi bukanlah teori yang dapat dianggap ilmiah.
Kita perlu mempertanyakan apakah ada agenda di balik paparan media massa yang begitu rajin bicara tentang "kesenjangan generasi" ini. Bukti-bukti ilmiah menunjukkan bahwa kesenjangan generasi tidak sebesar yang digambarkan oleh media.
Media massa, termasuk media sosial, sering dianggap sebagai "tiang demokrasi". Namun, teori Marxian telah mengungkapkan bahwa kesadaran yang dominan dalam masyarakat mencerminkan pandangan ideal kelas berkuasa tentang bagaimana masyarakat harus diatur, termasuk pandangan mereka tentang relasi kerja dan sosial.
Kelas berkuasa, dengan uang mereka, mempengaruhi pembentukan kesadaran khalayak melalui media massa yang dikendalikan oleh mereka. Metode pengendalian kesadaran massa ini selalu berubah sesuai dengan perkembangan teknologi yang tersedia dan dapat diakses oleh kelas berkuasa. Sejarah mencatat terjadinya berbagai peristiwa di mana kesadaran massa berhasil direbut setelah media dominan berhasil dikenali cara kerjanya dan disubversi.
Saat ini, media sosial menjadi media dominan yang belum dikenali dan diakui sebagai alat kelas berkuasa untuk mengendalikan cara pandang khalayak atas dunia. Media sosial menciptakan sebuah struktur hierarkis berdasarkan "influencers" dan "buzzers" yang menjadi kekuasaan baru yang tidak memiliki mekanisme kontrol dan akuntabilitas.
Selain itu, keberhasilan di media sosial diukur dari logika pasar, yaitu engagement. Seorang pembentuk opini akan melihat apa yang digemari pasar dan menyediakan produk untuk di-Like dan di-Share, yang pada dasarnya merupakan produk entertainment.