Mohon tunggu...
cholid baidaie
cholid baidaie Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis

Menulis untuk menghidupkan pikiran

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Keberadaan di Dunia Digital: Ilusi Identitas Online

13 Maret 2023   01:03 Diperbarui: 13 Maret 2023   01:08 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Seringkali kita mengalami situasi di mana seseorang tidak merespons pesan di WhatsApp, teman di Facebook tidak pernah memposting apa pun, atau bahkan kita mengintip akun Twitter mantan yang terakhir kali mencuit dua tahun yang lalu. Namun, begitu teman tersebut membalas pesan kita di WhatsApp atau teman Facebook tiba-tiba memposting foto saat berlibur di Raja Ampat, dan notifikasi Twitter muncul bahwa mantan hanya mengucapkan kata 'halo', kita seketika merespons pesan tersebut, memberikan komentar, dan berpikir dalam hati, "Kamu masih hidup?"

Semakin kita terhubung dengan dunia teknologi, semakin hilanglah identitas seseorang. Keberadaan manusia diukur berdasarkan seberapa sering mereka berinteraksi secara digital. Meskipun ini belum menjadi konvensi sosial, namun konsep tersebut secara halus telah tertanam dalam eksistensi kita.

Tidak online berarti dianggap tidak ada atau tidak penting. Keberadaan manusia di dunia digital diukur dari tanda-tanda online di WhatsApp, posting di Facebook, atau bahkan tweet acak setiap hari. Sehingga jarak dan waktu menjadi semakin tidak penting di dunia siber.

Namun, kita tidak boleh lupa bahwa keberadaan manusia tidak hanya dapat diukur dari aktivitas online saja. Kita perlu menghargai interaksi tatap muka dan menghargai waktu bersama dengan orang-orang terdekat. Dalam dunia digital yang semakin terhubung, jangan biarkan eksistensi kita menjadi terkekang oleh konsep online semata.

Badan Fisik Tak Lagi Menjadi Parameter di Dunia Digital

Kehadiran fisik atau badan tidak lagi menjadi ukuran eksistensi di dunia digital. Foto sudah cukup merepresentasikan penampilan fisik seseorang. Video mampu merepresentasikan gesture dan mimik wajah seseorang. Sementara file audio menjadi pelengkap kehadiran online. Semakin sering frekuensi foto, video, dan audio ini dilihat, maka itulah yang dianggap sebagai eksistensi. "Saya posting, maka saya ada."

Bertemu face-to-face sering kali terasa seperti "keajaiban palsu". Kita senang bisa bertemu teman yang tidak pernah membalas chat di WhatsApp, melepas rindu pada teman baik yang tidak pernah memposting di Facebook, atau bahkan bertemu mantan setelah lama stalking akun Twitter-nya.

Namun, semua itu hanyalah sebentar. Saat kita duduk bersama dan berbasa-basi, smartphone mereka selalu berada di tangan. Mereka menjauhkan diri dari orang di hadapan mereka dan kembali ke dunia digital.

Mereka melakukan ini karena sibuk membuat status WhatsApp yang mencerminkan rasa kesal pada orang yang tidak pernah membalas chat. Mereka memotret segala pose dan sudut bersama teman baik untuk di-posting di Facebook. Mereka bahkan membuat thread pengalaman mengasyikkan ketika bertemu mantan, tanpa diduga.

Saat obrolan menjadi hambar, mereka seringkali melihat-lihat smartphone mereka. Mata mereka melirik notifikasi yang muncul. Pikiran mereka melayang menunggu like, comment, share, heart, retweet, dan lain sebagainya. Kehadiran fisik hanya menjadi konsep belaka, sedangkan perilaku, gesture, dan pikiran mereka sudah beralih ke dunia digital. Ini menjadi bagian besar dari pertemuan tatap muka.

Dalam dunia digital, penampilan fisik tidak lagi menjadi parameter keberadaan. Foto, video, dan file audio sudah cukup untuk mewakili penampakan dan kehadiran seseorang secara online. Semakin sering frekuensi foto, video, dan audio ini dilihat, semakin eksis seseorang di dunia maya. Bahkan, "I post, therefore I exist" menjadi konsep yang dipegang banyak orang. Namun, tidak jarang kehidupan digital juga menjadi topeng yang sengaja dihiasi dengan kebaikan palsu. Seseorang dapat berbohong tentang dirinya di dunia digital, dengan memodifikasi kehidupannya menjadi lebih baik dari kenyataannya. Mereka menjadi sosialita dengan pose makan malam di restoran mahal, mencari selfie terbaik di depan mobil mewah, atau mengenakan fashion branded terbaru sambil berlibur di lokasi eksotis. Semua itu bisa saja palsu dan di-Photoshop.

Sedangkan di kehidupan nyata, mereka mungkin tidak sebaik itu. Mereka mungkin tidak memiliki teman yang peduli atau dianggap ada. Bertemu orang di dunia nyata bahkan bisa menjadi musibah yang harus dihindari. Namun, dalam dunia online, mereka dapat menjadi diri yang lebih baik dan diimpikan.

Eksistensi manusia semakin dilihat dari gesture sosial di dunia teknologi. Kehidupan online menawarkan dunia yang diimpikan, di mana seseorang dapat diajak ngobrol kapan saja, di mana saja, dan tentang apa saja. Mereka dapat mendapat perhatian sebaik atau seburuk apapun itu. Dunia maya menjadi tempat untuk menjadi diri yang lebih baik dari kehidupan nyata.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun