Oleh: ODORIKUS HOLANG
Quo vadis peran Dewan Perwakilan Daerah (DPD)?. Inilah pertanyaan reflektif untuk direfleksikan bersama mengenai peran DPD yang menuai problematis saat ini. Walapun hal ini telah out of date tetapi impaknya bersifat kontinuitas. Mengapa demikian? Hal ini mempunyai korelasinya dengan mekanisme voting yang digeluti oleh koalisi merah putih dalam merancang dan mensahkan undang-undang pilkada langsung di DPR kemarin.
Kuasa DPD telah dipangkas oleh karena mengedepankan kepentingan politik yang merugikan dan meruntuhkan eksistensi lembaga yang mempunyai wewenang yang telah diembankan untuk mengurus negara ini. Oleh karenanya, melegitimasi Undang-Undang lewat voting merupakan suatu kelemahan yang harus diterima oleh demokrasi yang mana keputusan demikian hanya berlandaskan pada kelompok mayoritas yang mempunyai kepentingan tertentu. Dalam hal ini, DPD menjadi “anak tiri” atau sebagai pelengkap dalam model legislasi tripartit (DPD, DPR dan pemerintah) dalam proses pembuatan Undang-Undang.
Namun, solusi untuk mengatasi supaya terdepaknya sistem voting ini dengan melibatkan kembali peran DPD dalam pembahasan dan putusan pembentukan Undang-Undang. Pakar hukum tata negara Refli Harun mempunyai penjelasan brilian dalam melihat peran DPD yang terkukung dalam kemaksiatan kelompok tertentu (DPR). Ia katakan bahwa “model legislasi bipartit yang hanya melibatkan DPR dan pemerintah justru menghilangkan kewenangan DPD untuk ikut dalam pembahasan pembentukan undang-undang. Alhasilnya mekanisme voting selalu jadi pilihan dalam putusan-putusan sidang di parlemen”.(metrotvnews.com, 21/10/2014).
Hemat saya, gagasan pakar hukum tata negara ini perlu diafirmasi karena sepak terjang tripatit yang tidak menghiraukan DPD merupakan praktik yang dapat merugikan negara. Aneka persoalan negeri sebenarnya bermula dari pengambil alihan wewenang terhadap lembaga tertentu. Secara sustansial, setiap lembaga mempunyai fungsi, tugas dan wewenang masing-masing.
Oleh karena itu, supaya tidak mengawang dalam mengaplikasikan tugas yang telah diembankan dan supaya DPD tidak berkelana tanpa arah maka patut dikenal fungsi, tugas dan wewenang DPD itu sendiri. Sesuai dengan konsistusi yang diatur dalam UU nomor 27 tahun 2009, format representasi DPD-RI dibagi menjadi fungsi legislasi, pertimbangan dan pengawasan pada bidang-bidang terkait.
Fungsi legislasi. Tugas dan wewenangnya adalah dapat mengajukan rancangan undang-undang (RUU) kepada DPR dan ikut membahas undang-undang. Hal yang berhubungan dengan ini adalah otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Fungsi pertimbangan. Memberikan pertimbangan kepada DPR dan fungsi pengawasan. Tugas dan wewenangnya adalah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang dan menyampaikan hasil pengawasannya kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti serta menerima hasil pemeriksaan keuangan negara yang dilakukan BPK.
Bidang terkait berhubungan dengan fungsi di atas adalah otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam serta sumber daya ekonomi lainnya, perimbangan keuangan pusat daerah, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), pajak, pendidikan dan agama.
Dengan demikian, agregasi kewenangan legislasi bipartit ini amat jelas tertera dalam Undang-Undang sedangkan aksi monopoli DPR dan pemerintah dalam mengampil keputusan dalam melegitimasi Undang-Undang secara nyata melanggar Undang-Undang pula yang mana DPD itu sendiri mempunyai peranan penting dalam mengurus dan menjalankan wewenangnya sebagai aparatur negara.
Pertanyaannya, mengapa ada penyimpangan dalam proses demokrasi yang telah dijalani selama ini?. Hal ini hemat saya dikarenakan oleh menganggap remeh kualitas lembaga tertentu sehingga menimbulkan tumpang tindih dalam memangku jabatan (extra income position). Oleh karena itu, memupuk kesadaran dalam diri untuk melihat kedalam diri dengan mengajukan pertanyaan reflektif bahwa apakah pengambilalihan posisi ini sesuai dengan kapasitas yang saya miliki atau malahan merugikan diri sendiri dan orang lain?.
Oleh karena itu, solusi yang ditawarkan adalah mereformasi dan merestorasi diri dalam mengambil setiap keputusan yang hendak dijalankan. Dalam hal ini pula seyogyianya merevolusi mental itu amat penting supaya tidak terjebak dalam prematur dan formalitas keputusan yang alhasilnya tidak menuai hasil yang memuaskan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H