Mohon tunggu...
odorikus holang
odorikus holang Mohon Tunggu... -

Senang menulis dan membaca, lulusan sekolah tinggi filsafat ledalero Maumere NTT

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pergulatan di Tahun Politik

9 Januari 2015   23:04 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:27 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PERGULATAN DI TAHUN POLITIK

Oleh: Odorikus Holang

Komisi pemberantasan korupsi menetapkan tahun 2015 sebagai tahun politik. Mengapa tahun politik?. Hal ini dikarenakan oleh tahun 2015, hampir di setiap daerah seluruh Indonesia melaksanakan pemilihan kepala daerah (PILKADA). PILKADA bagi KPK merupakan suatu momok yang menakutkan. Lalu, mengapa menjadi takut?.

Taruhan terbesar dalam tahun politik ini adalah menjaga kemurnian demokrasi secara intens. Akan tetapi bukanlah hal yang mudah yang sebagaimana seharusnya dilakukan namun hal esensial yang diperhatikan adalah mengedepankan tanggung jawab moral sebagai warga negara dan negarawan yang berintegritas. Oleh karena itu, ada beberapa alasan yang menjadi perhatian bersama dalam rangka mengawal PILKADA tahun 2015 supaya mengedepankan politik yang kondusif.

Pertama. Politik uang. Hal ini menjadi titik utama yang harus diperhatikan. Politik transaksional yang bernuansa barter dimana suara dibeli dengan uang merupakan bentuk penodaan terhadap sakralitas demokrasi. Secara substansial, politik merupakan media untuk memoles keberadaan negara menjadi mentereng sehingga negara pun dapat menebarkan pesona keindahan kesejahteraan baik terhadap warga negara sendiri maupun sebagai objek tatapan dari luar.

Kedua. Kekerasan politik. Mungkin hal ini tidak begitu lumrah di tengah masyarakat tetapi persoalan ini terjadi berulangkali dan masyarakat sendiri yang mengalaminya. Hal ini berawal dari sentimen politik yang tidak kondusif. Akar persoalan adalah isu nepotisme yang berujung pada pertarungan yang bernuansa kekerasan baik fisik maupun psikis.

Opini masyarakat mengenai hal ini kerapkali terjadi kala pemilu berlangsung. Masyarakat dibodohi dengan pencitraan politik calon tertentu demi menggapai kemegahan singgasana pemerintahan. Oleh karena itu, pertarungan politik pun tidak hanya terjadi dalam kubu politikus tetapi secara horizontal antara masyarakat sendiri. Persoalan ini dapat dinilai sebagai sekeping kegagalan demokrasi.

Artinya bahwa pemahaman masyarakat tentang demokrasi sebatas pada bagaimana pemimpin mencalonkan diri untuk menjadi negarawan dan menjalankan tugasnya. Akan tetapi, esensi dibalik demokrasi amat sulit dianalisis secara intens dalam tataran praktis.

Ketiga. Sportifitas. Apabila kejujuran tidak ditegakkan maka PEMILU gagal. Aneka persoalan yang merongrong kelancaran pemilu menjadi hal krusial yang sulit dibendung. Solusi praktis pasti bertarung dalam ranah hukum. Adagium klasik mengatakan “dimana ada kejujuran di situ ada jalan”. Jalan kejujuran terwujud mengandaikan pemilih berani berjalan atas keputusan hati nurani.

Dengan demikian, kiranya ketiga hal ini dapat diperhatikan secara bersama. Sebab ruang demokrasi selalu terbuka untuk selalu berdiskusi tentang bagaimana mengedepankan kesejahteraan bersama. Terwujudnya demokrasi ideal yang selalu mementingkan kepentingan umum ketimbang pribadi merupakan prestasi yang patut dibanggakan.

*penulis adalah kuli tinta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun