Dengan demikian, otentisitas dan modernitas menjadi kata kunci permasalahan. Pada satu sisi umat Islam ingin menjadi modern, tetapi pada saat yang sama, mereka takut kehilangan identitas keislaman mereka. Ini merupakan tantangan tersendiri bagi umat Islam. Dirasa perlu untuk mampu menjawab pertanyaan bagaimana bisa umat Islam menjadi modern tanpa Barat, mengingat modernitas adalah produk peradaban Barat.
Dengan jaminan bahwa modernisme, sekularisme dan materialisme yang berkembang di Barat tidak akan mengikis 'tradisi suci' umat Islam, saya pikir pemahaman ulang terhadap paham-paham tersebut sekaligus memahami penyebab trauma Barat akan berdampak pada terkuranginya sikap defensif umat Islam terhadap Barat. Dari sini umat Islam akan mengenali kelemahannya sekaligus mengetahui faktor kemunduran yang bemula dari sikap menolak apapun yang berbau Barat, terutama produk-produk pemikirannya.
Pendeknya, meski tidak mudah mewujudkan keharmonisan berarti menyelaraskan kesenjangan peradaban dengan cara membuang jauh ketakutan-ketakutan yang tak beralasan. Hal terpenting adalah bagaimana kita menjaga otentisitas keislaman dengan tanpa musti menghindari arus modernitas. Hal ini cukup menjelaskan posisi netral dan bahkan universal umat Islam yang sebenarnya (live in between), la syarqiyyah wa la gharbiyyah, mengingat Timur dan Barat hanya milik Tuhan semata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H