Mohon tunggu...
Hok Liong Souw
Hok Liong Souw Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Satu peluru hanya bisa menembus satu kepala, tapi satu tulisan bisa menembus ribuan bahkan jutaan kepala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

87 Tahun Sumpah Pemuda: Antara Imperialisme Bahasa (Inggris) dan Eksistensi Bahasa Indonesia

28 Oktober 2015   16:46 Diperbarui: 28 Oktober 2015   17:16 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Replika Kongres Pemuda di Museum Sumpah Pemuda"][/caption]

Barangkali sebelum mendalami artikel ini, ada baiknya pembaca menyimak lebih dulu cerita di bawah ini.

1. Seorang teman saya bercerita, anak guru lesnya yang bersekolah di sebuah TK internasional bilingual memperoleh nilai sangat buruk di pelajaran bahasa Indonesia. Teman saya memperlihatkan contoh ujian anak TK tersebut dan tebak, titik pada kalimat "Saya memecahkan vas bunga" malah dihubungkan dengan "Terima kasih" dan bukannya "Saya minta maaf"!

2. Sebuah perusahaan mesin pencari (search engine) di Beijing mengundang mahasiswa Indonesia untuk menghadiri seminar mereka. Dari awal, bahasa yang dipakai oleh pembicara adalah Bahasa Indonesia (pembicaranya orang Indonesia). Kira-kira beberapa waktu berselang, datanglah 2 orang berkewarganegaraan asing. Agar 2 orang ini dapat mengerti seluruh isi seminar, maka pembicara meneruskan seminar dengan berbahasa Inggris.

3. Di lain kesempatan, dalam sebuah acara pemilihan ketua umum organisasi mahasiswa di Beijing, seorang peserta berdiri dan menyarankan agar kedua kandidat berbicara bahasa Indonesia dengan baik, tanpa tercampur bahasa Inggris. Penulis akui, selama penjelasan program kedua kandidat kerap kali mencampuradukkan bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris. Banyak peserta lain menilai, saran seperti ini tidak penting.

4.   Di universitas penulis, sebuah organisasi mahasiswa Indonesia mengedit sebuah poster perekrutan yang akan segera disebar di media sosial, dan para pengurusnya meminta pendapat apakah poster ini sudah layak sebar. Poster ditulis seperti ini: "WE NEED YOU TO BE ONE OF US" dan di bawahnya tulisan dilanjutkan dengan bahasa Indonesia. Penulis sempat memberikan saran, apakah tidak lebih baik jika kalimat tersebut diganti menjadi "KAMI MEMBUTUHKAN ANDA", mengingat poster ini hanya ditujukan kepada orang Indonesia saja di universitas penulis. Sepertinya karena faktor tergesa-gesa, maka saran penulis tidak digubris.

[caption caption="Mohammad Yamin"]

[/caption]87 tahun silam, tepatnya hari ini, para pemuda Hindia Belanda, yang akhirnya mengakui diri sebagai pemuda Indonesia, telah menorehkan sejarah, apalagi kalau bukan Sumpah Pemuda. Mohammad Yamin sebagai salah satu pemuda yang mengusulkan Sumpah Pemuda tentunya tidak sembarangan usul, terutama butir ketiganya yang penulis ingin tekankan: "Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia".

Mengapa bahasa Indonesia? Mengapa bukan bahasa Belanda saja yang notabene dipakai oleh kalangan berpendidikan dan terdengar lebih berprestise? Penulis yakin Mohammad Yamin memiliki visi yang jelas bahwa bahasa Indonesia akan menjadi bahasa pemersatu bangsa ini; kaya-miskin, bangsawan-rakyat jelata, berpendidikan-non berpendidikan sekaligus menjadi pembeda Indonesia dengan bangsa penjajah waktu itu. Orang Indonesia bukan bangsa Belanda, dan kelak 17 tahun kemudian, bangsa Indonesia merdeka, dan menjadi sejajar dengan segala bangsa di muka bumi ini.

Bagaimana dengan sekarang? 70 tahun sesudah negeri ini merdeka, banyak yang bilang kita belum merdeka. Kita masih dibelenggu oleh rantai penjajahan ini dan itu. Tapi banyak yang tidak memerhatikan bahwa kita juga sedang terancam penjajahan. Ya, penjajahan oleh imperialisme bahasa.

Apa itu imperialisme bahasa? Imperalisme bahasa (Robert Phillipson, 1992) adalah kondisi yang melibatkan transfer bahasa yang dominan kepada bahasa lain. Tentu saja di sini bahasa yang dominan diartikan dengan bahasa Inggris. Selain faktor historis yang memungkinkan bahasa Inggris dipakai menjadi bahasa internasional, tentu tidak dapat dipungkiri peran teknologi seperti radio, televisi, dan internet memungkinkan kita setiap hari tersentuh bahasa Inggris.

Mengapa orang Indonesia mudah sekali termakan imperialisme bahasa Inggris? Menurut Phillipson hal ini dikarenakan:

 -       Argumen intrinsik menyatakan bahasa Inggris sebagai bahasa yang kaya, terhormat dan menarik. Argumen seperti ini berusaha meninggalkan kesan bahwa bahasa Inggris adalah seperti itu, sedangkan bahasa lain tidak.

–       Argumen ekstrinsik menyatakan bahwa bahasa Inggris adalah bahasa yang sudah mapan: karena ia memiliki banyak penutur dan banyak tersedia pengajar berpengalaman dan materi pengajaran yang berlimpah.

–       Argumen fungsional yang menekankan bahasa Inggris sebagai pintu gerbang dunia.

–       Argumen kegunaan ekonomi bahwa bahasa Inggris memungkinkan mengoperasikan teknologi.

–       Fungsi ideologisnya bahwa bahasa Inggris mewakili modernitas.

–       Statusnya sebagai simbol kecukupan materi dan efisiensi.

Setelah pembaca menyimak berbagai argumen di atas, maka tidak heran bukan kalau banyak berdiri sekolah-sekolah yang menetapkan bahasa Inggris sebagai bahasa utama dalam proses pengajaran. Kalau pun sistem sekolah itu dibawakan secara bilingual, paling bahasa keduanya adalah bahasa Mandarin.

Tidak sampai di situ saja. Jika pembaca teliti menyimak berbagai status yang dilontarkan di berbagai media sosial, banyak muda-mudi yang menuliskan status dengan bahasa Inggris, tapi apakah pembaca pernah menanyakan, kalau mayoritas, atau kalau tidak semua teman di lingkaran pertemanan di media sosial orang Indonesia semua, perlukah memakai bahasa Inggris?

Tapi yang membuat miris, sebagai salah satu produk dari argumen di atas, yakni anak sedari kecil sudah ditanamkan bahwa berbahasa asing (baca: Inggris) dengan baik lebih diharapkan oleh orang tua. Padahal, berbahasa Indonesia pun juga perlu dipelajari dan dipraktikkan.

Memang, sebagian barangkali berpendapat yang namanya bahasa ibu tidak dapat hilang begitu saja. Akan tetapi, di sini bukan masalah hilang atau tidaknya, tetapi berbahasa yang baik dan benar, karena itulah identitas kita. Aneh bukan bila melihat seorang asing dapat lebih mahir menggunakan bahasa Indonesia baik formal maupun non-formal, sedangkan kita sendiri hanya dapat berbahasa Indonesia secara non-formal, giliran berbahasa formal pletat-pletot.

Lagipula, apakah betul berbahasa Inggris mewakili kemajuan teknologi dan modernitas? Menurut penulis tidak selalu demikian. Benar adanya negara-negara maju dan berbahasa Inggris, tak usah jauh-jauh, tengok Singapura. Tapi ingat, masih banyak pula negara-negara maju yang rakyatnya tidak identik bisa berbahasa Inggris, seperti Jepang, Korea Selatan, Prancis, Jerman.

Mungkin terkesan dengan buah tulisan ini, penulis dianggap mendiskreditkan bahasa Inggris dan proses pembelajaran berbahasa Inggris. Sungguh maaf bagi yang merasa tersinggung. Tetapi maksud penulis di sini, kita sebagai orang Indonesia, sebagai penerus semangat pemuda yang luhur, sudah semestinya lebih sering memakai dan menguasai bahasa Indonesia, bahasa pemersatu kita tanpa melupakan pentingnya belajar bahasa asing. Lagipula jika orang yang kita tuju memang orang Indonesia, adakah yang salah jika memakai bahasa Indonesia?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun