Mohon tunggu...
HOIRUNNISSA SUCI ARDIYANTI
HOIRUNNISSA SUCI ARDIYANTI Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - pelajar

hobi bernyanyi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jejak Luka yang Mendidik

12 November 2024   08:51 Diperbarui: 12 November 2024   09:25 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

    Ibu menunduk, air mata mengalir pelan. "Aku juga merasa bersalah. Aku terlalu banyak menuntut tanpa mencoba memahami beban Ayah."

    Kami bertiga berbicara lama malam itu. Aku menceritakan rasa takut dan kesepianku setiap kali mendengar mereka bertengkar. Ayah dan Ibu mendengarkan dengan saksama, dan untuk pertama kalinya, aku merasa keberadaanku benar-benar dihargai. Proses ini tidak mudah, tetapi aku mulai belajar bahwa perubahan butuh waktu dan kesabaran.

    Sejak malam itu, kami mulai membangun kebiasaan baru. Setiap akhir pekan, kami melakukan sesuatu bersama---entah memasak, menonton film, atau sekadar berjalan-jalan di taman. Ayah juga berusaha pulang lebih awal, sementara Ibu mulai mengurangi keluhan kecil yang sering memicu pertengkaran.

   Beberapa bulan kemudian, di sebuah malam yang hening dan penuh kehangatan, Ayah dan Ibu mengajakku makan malam bersama di sebuah rumah makan kecil yang sederhana namun nyaman. Di tengah obrolan santai, Ayah tiba-tiba mengeluarkan setangkai bunga dan sebuah kotak beludru kecil dari sakunya. Dengan mata yang penuh harap, ia menyerahkannya kepada Ibu. 

    "Ibu," katanya dengan suara yang sedikit bergetar, "aku ingin kita memulai segalanya dari awal. Aku berjanji akan menjadi suami dan ayah yang lebih baik." 

    Ibu terdiam sejenak, wajahnya tersentuh keharuan. Senyum manis mengembang di bibirnya sementara matanya mulai berkaca-kaca. "Aku juga akan belajar menjadi istri yang lebih pengertian," jawabnya lembut.

    Malam itu, aku merasa keluargaku benar-benar utuh. Tidak lagi sempurna seperti dongeng, tetapi nyata---dengan semua kelebihan dan kekurangannya.

    Kini, setiap ada masalah, kami saling berbicara dan mencari solusi bersama. Aku belajar bahwa luka masa lalu memang menyakitkan, tetapi juga bisa menjadi guru terbaik untuk membangun masa depan. Aku tidak hanya melihat kedua orang tuaku berubah, tetapi juga diriku sendiri yang menjadi lebih dewasa.

    Di tengah segala kekurangan, keluarga kami menjadi tempat yang hangat untuk pulang. Hujan di luar mungkin masih deras, tetapi di dalam rumah ini, selalu ada hangatnya cinta yang kami bangun bersama.

    Waktu terus berjalan, dan kami semakin terbiasa dengan kehidupan baru yang lebih harmonis. Ayah mulai melibatkan diri lebih banyak dalam kehidupan rumah tangga. Ibu, yang sebelumnya selalu terlihat letih, kini lebih sering tersenyum.

    Aku sendiri mulai merasa nyaman berbagi cerita dengan mereka. Setiap malam sebelum tidur, kami punya tradisi baru: duduk bersama di ruang tamu untuk menceritakan hal-hal baik yang terjadi hari itu. Kadang obrolan itu sederhana, seperti hasil ulangan yang kudapat di sekolah atau kabar lucu dari kantor Ayah. Tapi dari hal-hal kecil itu, aku tahu cinta dan kebahagiaan kami semakin kuat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun