Mohon tunggu...
HOIRUNNISSA SUCI ARDIYANTI
HOIRUNNISSA SUCI ARDIYANTI Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - pelajar

hobi bernyanyi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jejak Luka yang Mendidik

12 November 2024   08:51 Diperbarui: 12 November 2024   09:25 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

    Ibu pun tak mau kalah. "Dan aku? Aku di rumah, merawat anak-anak, memikul beban emosi ini sendirian, tapi kau bahkan tak pernah peduli!"

    Kata-kata itu seperti cambuk bagi ayah. Ia terdiam sejenak, lalu perlahan menunduk. "Aku tidak tahu... aku tidak tahu kalau kau merasa seperti itu," katanya dengan suara yang lebih lembut.

    Keheningan kembali menyelimuti. Aku, dengan tangan kecilku, menggenggam tangan kedua orang tuaku. "Ayah, Ibu, aku Cuma ingin kita makan bersama seperti ini. Aku kangen kalian."

    Kata-kata itu menembus dinding pertahanan yang selama ini mereka bangun. Ibu menangis dalam pelukan ayah, dan untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, mereka saling memohon maaf. Ayah mengakui kesalahannya yang terlalu sibuk dengan pekerjaan, dan ibu mengakui bahwa ia sering menyimpan kekesalannya sendiri tanpa berusaha berbicara.

    Malam itu, percakapan yang lebih dalam terjadi. Mereka bicara tentang mimpi, kesalahan, dan cinta yang dulu mengikat mereka.      

 

    Hari-hari berikutnya, suasana rumah mulai berubah. Masih ada kesulitan, masih ada pertengkaran kecil, tetapi kali ini semuanya lebih mudah dilalui. Aku yang dulu menahan kesedihan kini melihat keluarganya perlahan bangkit dari luka-luka lama yang menyesakkan.

    Keesokan harinya, aku memulai dari hal sederhana. Setiap pagi, aku membuatkan teh untuk Ayah dan Ibu, lalu mengajak mereka sarapan bersama. Awalnya, suasana terasa canggung, tetapi perlahan-lahan obrolan kecil mulai muncul. Kami berbicara tentang cuaca, pekerjaan Ayah, dan rencana Ibu untuk merawat taman yang sudah lama terbengkalai.

    Suatu sore, aku melihat Ayah membantu Ibu menyiram bunga di taman. Pandangan mereka saling bertemu, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku melihat senyum kecil di wajah mereka. Momen itu begitu sederhana, tetapi bagiku terasa seperti secercah harapan yang lama hilang.

    Di malam yang lain, aku memberanikan diri mengajak mereka untuk duduk bersama di ruang tengah. "Ayah, Ibu, bisakah kita berbicara lebih terbuka? Aku ingin tahu apa yang Ayah dan Ibu rasakan selama ini."

    Mereka terdiam sejenak. Ayah menghela napas panjang, lalu berkata, "Ayah merasa terlalu sibuk dengan pekerjaan sampai lupa bahwa keluarga ini membutuhkan Ayah lebih dari apa pun."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun