Setelah pulang, aku langsung mengganti pakaian, mengisi perut dengan makanan hangat, lalu merebahkan diri di tempat tidur. Bermain ponsel sejenak menjadi cara favoritku untuk melepas penat, hingga tanpa sadar, mataku mulai berat, dan aku pun tertidur dalam keheningan sore.
  Suara keributan di ruang tengah kembali terdengar, seperti yang sudah sering terjadi pada waktu lalu. Suara-suara yang seharusnya menyatukan menjadi dinding pemisah yang semakin tinggi di antara mereka. Aku sontak terbangun, menutup telingaku dengan kedua tangan, mencoba untuk mengabaikan apa yang sudah terlalu biasa didengar.
  Aku hanya bisa mendengar semuanya dari dalam kamar. Rasa sakit itu begitu nyata, aku merasa tidak berdaya. Setelah suara keributan itu berhenti, aku memutuskan keluar dari kamar. Langkah kakiku pelan namun tegas. Di ruang tengah, aku melihat barang-barang dalam keadaan berantakan. Tanpa berpikir panjang, aku mengambil barang-barang itu dan mengembalikannya ke tempat semula. Ada perasaan hangat yang kembali hadir, meskipun hanya sejenak.
  Aku tak pernah mengerti mengapa mereka sering bertengkar. Awalnya soal hal kecil---uang belanja yang tak cukup, pekerjaan Ayah yang sering lembur, atau cara Ibu mendidikku. Namun, semuanya selalu berakhir dengan teriakan dan pintu yang dibanting keras. Aku hanya bisa berdoa, berharap mereka bisa saling memahami, seperti pasangan yang kuceritakan dalam cerita dongengku.   Â
  Waktu berlalu, dan konflik demi konflik tidak juga mereda. Malam tiba, aku yang kini sudah mulai remaja memberanikan diri berbicara di ruang tengah. Suaraku terdengar lirih, namun cukup tegas. "Aku lelah melihat kalian terus bertengkar. Apa kalian lupa bahwa keluarga ini ada untuk saling mendukung, bukan saling melukai?"
  Hening menyelimuti ruang tengah. Ayah dan ibu saling pandang dengan raut wajah yang penuh keheningan. Kata-kata sederhana dariku membuat mereka tersadar. Malam itu, mereka duduk bersama untuk pertama kalinya setelah sekian lama, membicarakan segala yang terpendam tanpa ada amarah. Setiap luka yang selama ini tertahan perlahan-lahan mulai diungkap, dan meskipun perih, mereka merasa lebih ringan.
  Hari-hari berikutnya penuh dengan kebingungan dan kesedihan. Namun, aku mulai menyadari sesuatu. Luka lama yang terus menghantui kami ternyata tidak menjadi penghalang untuk bangkit. Aku mencoba untuk berbicara lebih banyak dengan Ibu dan Ayah. Kami mulai berbagi perasaan dan saling mendengarkan. Meski masih ada rasa kesal dan kecewa, kami berusaha untuk kembali saling mendukung.
  Ayah memandang ibu dengan tatapan yang sulit ditebak, lalu berkata dengan nada berat, "Mungkin aku memang salah selama ini, tapi kau juga tidak pernah mencoba mengerti."
  Ibu, yang sejak tadi menahan air mata, akhirnya tak mampu lagi membendungnya. "Mengerti? Apa kau pernah memberi kesempatan untukku bicara? Selalu kau yang benar, selalu aku yang harus menurut!"
  Aku yang duduk di tengah, memandang keduanya dengan cemas. "Ayah, Ibu, tolong jangan berteriak..."
   Namun, ayah sudah bangkit dari posisi duduknya. "Apa aku salah jika aku bekerja keras untuk kalian? Apa aku salah jika aku ingin kehidupan yang lebih baik untuk keluarga ini?" Suaranya menggelegar, memenuhi ruangan.