Dewa Gilang terkejut, dan mencoba menduga-duga maksud jawaban ayahnya.
"Ayah mau mengusir saya dari rumah ini?", senggak Gilang
"Ternyata kau tak berubah, tetap saja kau utamakan emosimu. Semua orang punya emosi", jawab ayahnya ketus
"Memang orang-orang dalam rumah ini tidak tahu bersyukur, keluarganya bebas dari kurungan, eh malah seperti datang bencana", balas Dewa Gilang atas respon ayahnya
"Kami tidak kurang bersyukur atas dibebaskannya kau, harusnya kau sadar kalau hidup itu bukanlah kehendak sendiri, emosi sendiri. Betapa malunya ayahmu ini memberimu makan kalau energinya kau gunakan untuk memukul nenek-nenek. Seharusnya kau berubah", ayahnya marah, langsung kembali masuk ke dalam rumah.
Hari kedua, telah membuat ayahnya marah. Dewa Gilang pun tertunduk, diam melihat ayam yang baru mereka perbincangkan.
Ibunya menghampirinya,
"Ini tehnya Nak", kata ibunya sembari menyodorkan secangkir teh pada Dewa Gilang
"Letak di atas meja aja Bu, nanti Gilang minum", sahut Dewa Gilang.
Ibunya pun meletakkan teh tersebut di atas meja kemudian menghampiri Dewa Gilang yang berdiri di halaman rumahnya.
"Janganlah kau lawan-lawan lagi ayahmu, dia sudah tua. Ibu tahu kau tidak suka dengan respon ayah dan warga sini atas kedatanganmu. Ayahmu sudah hampir stress memikirkan biaya untuk mengurusmu agar bebas dari penjara, ditambah lagi ayah sudah tidak punya tempat untuk berjualan di pasar. Sejak kau bermasalah dengan Nek Risma, ayah langsung diusir dari tempatnya itu, kau taunya ayah selama ini berjualan pakai tempat siapa. Dan sejak empat bulan yang lalu ayah sudah tidak mau jualan lagi. Ia malu dan langsung dicela oleh masyarakat sekitar. Ayahmu lebih banyak diam di rumah. Kerjanya hanya nonton, makan dan tidur, seperti mau nunggu meninggal saja", kata ibu Gilang panjang lebar.