Menjadi impian banyak orang dapat merasakan hidup di luar negara Indonesia, apakah itu untuk melanjutkan pendidikan, bekerja atau bahkan membangun rumah tangga dengan warga negara asing.Â
Saya pun tidak pernah membayangkan bahwa impian saya untuk bisa menjelajah berbagai negara dan merasakan menetap di luar Indonesia akhirnya dapat terwujud. Bukan untuk melanjutkan pendidikan atau bekerja, apalagi berumah tangga dengan warga negara asing, tapi untuk mendampingi istri yang bertugas dan berprofesi sebagai diplomat.
Jodoh, rezeki dan maut menjadi hak prerogatif Sang Maha Kuasa. Terkadang sebagai manusia, kita sering merasa kecewa ketika kita tidak mendapatkan apa yang kita inginkan. Padahal Tuhan punya cara-Nya sendiri untuk dapat memenuhi apa yang kita butuhkan bukan yang kita inginkan.Â
Sejak kecil saya bercita-cita menjadi seorang diplomat. Bayangan menjadi seorang duta besar itu tertanam dalam pikiran saya sejak kecil.Â
Berkali-kali saya mengikuti proses rekrutmen dan seleksi untuk menjadi diplomat, tapi tidak ada yang berhasil. Dan, Tuhan punya cara-Nya dalam mewujudkan impian saya.Â
Siapa nyana, saya dipertemukan dengan jodoh saya yang ternyata berprofesi sebagai diplomat, dan saya pun akhirnya menyandang status sebagai suami diplomat.
Dalam bayangan setiap orang tentu profesi diplomat sangat mengasyikkan, apalagi sebagai pendampingnya. Ibarat kata tidak perlu capek-capek bekerja, tapi bisa keliling dunia.Â
Percayalah, kondisi itu tidak seindah yang dibayangkan banyak orang, apalagi ketika suami yang harus mendampingi istri.Â
Istri mendampingi suami bertugas tentu bukanlah hal yang aneh, karena "takdirnya" memang diciptakan seperti itu, istri manut dan ikut ke manapun suami melangkah.
Tapi, di tengah kondisi budaya patrilineal yang masih kuat di Indonesia, ketika suami yang harus mengikuti dan mendampingi istri bertugas tentunya masih berpotensi menjadi perdebatan, tidak hanya di masyarakat tapi yang pasti dalam lingkungan keluarga si suami.Â
Loh, kenapa harus menjadi perdebatan? Kan bisa saja suami bekerja di negara tempat sang istri bertugas.Â
Nah, di situlah letak potensi perdebatannya. Karena, sebagai pendamping diplomat, suami atau istri tidak diperbolehkan untuk bekerja di negara akreditasi atau negara di mana pasangannya ditugaskan sebagaimana aturan yang dianut dan diberlakukan Indonesia dan banyak negara lainnya di dunia.
Kondisi tersebut menjadi tantangan dalam rumah tangga diplomat, khususnya bagi para suami yang pastinya menimbulkan dilema luar biasa apakah melepaskan karir untuk mendampingi istri atau menjalani hubungan jarak jauh dengan jangka waktu yang cukup lama.Â
Menjalani hubungan jarak jauh juga tidak akan mudah dilakukan terlebih ketika anak-anak telah hadir dalam kehidupan rumah tangga. Menjadi semakin sulit untuk mengambil keputusan bagi suami, ketika suami sedang membangun karir dan dalam perjalanan menuju puncak karir, tapi harus dilepaskan demi mendampingi penugasan sang istri.
Tidak hanya itu, bagi suami tantangannya menjadi berlipat karena juga harus memberikan pengertian kepada keluarga besarnya bahwa ia akan mendampingi sang istri bertugas.
Budaya patrilineal yang begitu kuat di Indonesia secara tidak langsung menimbulkan pemahaman bahwa ketika suami "ikut" istri bertugas merupakan sesuatu hal yang tabu dan tidak sesuai norma.Â
Belum lagi komentar-komentar dari lingkungan sekitar sang suami yang akan membuat telinga "panas" mendengarnya. "Wah, enak ya suami di rumah saja, istri yang bekerja". Atau "kalau suami tidak bekerja, jadi bapak rumah tangga dong".
Lantas, apakah memang "sesulit" itu kondisinya bagi rumah tangga diplomat?Â
Pada akhirnya semua akan bisa dilalui dengan kompromi serta komunikasi yang efektif suami dan istri. Bicara masalah rumah tangga bukan lagi bicara ego masing-masing pihak, dan bukan bicara tentang siapa yang menang siapa yang kalah. Masing-masing tentunya harus bisa berkompromi untuk mencari jalan tengah yang win-win bagi kedua belah pihak.Â
Sebelas tahun berumah tangga dan menjalani peran sebagai suami diplomat, tentunya memberikan kedewasaan dan kebijaksanaan bagi saya -- dan istri tentunya -- dalam pengambilan setiap keputusan yang menyangkut perjalanan rumah tangga kami.Â
Dan, saat ini saya sedang mendampingi penugasan istri di Republik Ceko, yang merupakan penugasan kedua dalam perjalanan karir istri.
Nah, yang menjadi banyak pertanyaan, jika saya tidak diperbolehkan bekerja, apa yang saya lakukan selama mendampingi istri bertugas?
Pertama, pastinya saya menjadi bapak rumah tangga. Saya mengurus rumah tangga dan memastikan istri dan anak kebutuhannya tercukupi. Memang mengurus rumah tangga tetap harus menjadi kewajiban istri. Tapi, sekali lagi ini soal kompromi.Â
Di penugasan istri yang pertama, kami membawa asisten rumah tangga, sehingga semua urusan rumah tangga tinggal terima beres.Â
Di tahun terakhir penugasan saja barulah kami melepaskan diri dari asisten rumah tangga dan belajar untuk menjadi lebih mandiri.
Nah, di penugasan istri yang kedua ini, saya dan istri berkompromi bahwa sebagian besar urusan rumah tangga biar menjadi urusan saya.Â
Hal ini saya lakukan juga untuk memberi contoh pada anak laki-laki saya, bahwa kelak ia dewasa dan berumah tangga ia harus mau ringan tangan membantu istrinya mengurus rumah.
Kedua, yang bisa saya lakukan adalah tetap beraktivitas dan berkarya melalui tulisan. Saya bersyukur diberikan kemampuan untuk mengolah rasa dan kata menjadi sebuah tulisan, sehingga kemampuan itu bisa saya pergunakan untuk tetap beraktivitas tanpa harus kehilangan waktu berharga bersama keluarga. Salah satu media yang saya gunakan untuk mengolah rasa dan kata, ya melalui Kompasiana ini, sehingga talenta menulis itu tetap terasah.Â
Salah satu manfaat yang saya peroleh dari kemampuan menulis, saya bisa mendapatkan berbagai proyek paruh waktu dari Indonesia sebagai content writer dan yang membahagiakan bisa terlibat sebagai tim penulis sebuah buku. Tentunya saya berharap, suatu hari bisa menulis dan menerbitkan buku karya sendiri, aamiin.
Ketiga, melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Di penugasan istri yang pertama, hasil kompromi yang win-win bagi kami saat itu adalah saya melanjutkan pendidikan magister sembari mendampingi istri.Â
Ketika itu istri ditugaskan di Singapura, tidak jauh dari Indonesia. Namun, anak kami baru berusai 3 bulan saat itu. Sehingga walaupun ada asisten rumah tangga, saya tidak ingin anak saya menjadi "anak asisten rumah tangga".Â
Saya bersyukur bisa diterima dan mengecap pendidikan di salah satu perguruan tinggi terbaik tidak hanya di Singapura, tapi juga di Asia bahkan dunia karena rezeki mendampingi istri yang bertugas.
Keempat, terlibat aktif dalam kegiatan di perwakilan. Tidak semua perwakilan Indonesia di luar negeri didukung oleh keberadaan staf yang banyak. Sehingga, para pendamping khususnya para suami bisa berperan serta dalam berbagai kegiatan promosi dan budaya yang diinisiasi Perwakilan.Â
Bagi para istri bisa berperan aktif dalam wadah organisasi Dharma Wanita. Para suami tentunya bisa berperan aktif secara langsung. Banyak hal yang bisa menjadi bagian kontribusi sebagai pendamping di perwakilan, apakah itu di bidang agama, pendidikan atau budaya.Â
Saya, dengan kemampuan menulis yang saya miliki, menjadi kontributor user story di media online guna memberitakan peristiwa atau kegiatan diplomasi yang dilakukan perwakilan. Atau, bersama teman-teman pendamping lainnya, saya terlibat aktif dalam tim kesenian.Â
Selain itu, di beberapa kesempatan saya juga ikut mendukung dan membantu kegiatan di Perwakilan dengan menjadi pembawa acara atau master of ceremony.
Dan kelima, mengenal dan menggali lebih dalam budaya negara lain. Salah satu keuntungan menjadi pendamping diplomat tentunya mendapatan kesempatan untuk menjelajahi negara di mana suami atau istri ditugaskan.
Hal tersebut pastinya akan memberikan pengalaman berkesan seumur hidup yang tidak akan terulang. Dan inilah yang mungkin sering dibayangkan banyak orang, yaitu bisa jalan-jalan keliling dunia (tapi tidak gratis ya, hehehe).
Pengalaman menjalani peran sebagai suami diplomat tidak hanya memberikan tantangan tapi yang pasti menjadikan saya lebih dewasa dan bijak dalam setiap langkah kehidupan yang dilalui.Â
Saya tidak pernah merasa menyesal menjalankan peran sebagai suami yang mendampingi istri bertugas, dan menjankan peran sebagai bapak rumah tangga. Karena kondisi itulah yang menjadikan dan membentuk pola pikir saya dengan sudut pandang yang jauh lebih luas.
Pembalikan peran yang terjadi bisa saja sulit dilakukan oleh para suami, namun ketika sudah berhasil dilakukan akan memberikan cara pandang yang berbeda dalam melihat suatu hal.Â
Dukungan penuh istri ketika pembalikan peran terjadi sangatlah penting, karena untuk bisa beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan peran barunya tentu membutuhkan waktu yang tidak sebentar bagi seorang suami.Â
Kesabaran disertai komunikasi yang efektif menjadi kunci bagi istri saat sang suami beradaptasi dan menyesuaikan diri.
Satu hal yang harus menjadi perhatian suami dan istri ketika pembalikan peran terjadi: suami berlapang dada, istri tidak jumawa.
Salam dari Praha!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H