Mohon tunggu...
Hoerul Iksan
Hoerul Iksan Mohon Tunggu... -

Saya dari Subang, berhubung kotanya tak dicantumkan ku pilih saja Bandung. -_-

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Selamat Tinggal Diana

15 Maret 2015   15:22 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:38 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Wanita itu terus memandang cokelat panasnya. Entah faktor apa yang
membuat dia tak segera meminumnya. Mungkin dia juga mengacuhkan
permainan pianoku yang terus mengalun mengalahkan derasnya hujan yang
turun malam ini.
Aku terus menatapnya. Mencoba masuk ke alamnya lewat matanya yang
kosong itu. Yah, sepertinya dia sedang mengalami perasaan kalut.
Setelah permainanku selesai, aku disambut dengan tepuk tangan oleng
pengunjung kafe. Kecuali dia. Yah, sepertinya dia benar-benar
mengacuhkanku. Jadi, aku beranjak dari tempatku dan berniat untuk
menghampirinya. Saat aku sudah berada dimejanya aku berdeham dan
sebagai responnya ia hanya mendongak ke arahku dan kembali dalam
aktifitasnya yaitu melamun.
"Boleh aku duduk disini?" Dia hanya mengangguk kecil. Aku pun duduk didepannya.
"Kau baik-baik saja?" Entah kenapa aku mencoba mencampuri urusannya.
Kalimat ini terlontar sendiri tanpa aku menyuruhnya.
"Menurutmu?"
"Kurasa tidak." Ia hanya manggut-manggut saja.
"Itu artinya aku gagal." Ia mengerutkan keningnya.
"Maksudmu?"
"Aku kesini untuk menghibur para pengunjung kafe agar kebosanan dan
masalah lain yang mereka alami hilang dengan musik yang kumainkan
tadi. Dan kurasa kau tidak terhibur." Dia mulai menyesap cokelat
panasnya yang menurut dugaanku cokelat itu sudah mulai dingin.
"Apa judulnya tadi?" Ah, rupanya aku salah menduga.
"Feeling, dari Richard Clayderman." Dia manggut-manggut lagi.
"Jujur saja, dentingan piano yang tadi kau mainkan membuat hatiku
cukup tenang. Hanya saja.."
"Ya?"
"Aku tak bisa menceritakannya."
"Aku akan mendengarkan." Dia menatapku.
"Sepertinya kau begitu antusias."
"Yah, aku sendiri tidak tau kenapa ingin sekali mengetahui semua
tentangmu." Aku baru tahu kalau dia bisa tersenyum. Sungguh,
senyumannya begitu manis.
"Baiklah kalau begitu. Aku mulai dari mana?"
"Terserah." Dia menarik nafasnya panjang-panjang dan mulai bercerita.
"Yah, hidupku bisa dibilang bahagia. Sangat bahagia. Kau taukan wanita
jika sudah mencintai seseorang?" Aku hanya mengangguk saja. Rupanya
ini masalah lelaki.
"Sudah dua tahun aku dan kekasihku menjalin hubungan. Ah, dunia terasa
milik kami berdua jika sedang bercinta. Tapi.." Ia menggantungkan
kalimatnya.
"Teruskan."
"Masa dua tahun itu dihancurkan oleh pihak ke tiga." Nada bicaranya
tidak berubah sama sekali dan raut wajahnya tampak biasa-biasa saja.
"Oh, lalu?" Hanya itu yang kulontarkan.
"Sebenarnya dia dan kekasih gelapnya sudah lama menjalin. Tapi entah
kenapa aku baru mengetahui sekarang. Hatiku seperti tertusuk puluhan
duri tajam. Sakit sekali. Aku terlanjur mencintainya. Tapi aku sadar
bahwa cinta itu tidak bisa dibagi." Dia kembali menyesap cokelatnya.
Bukan hanya menyesap. Tapi meminumnya sampai habis.
"Sepertinya hujan sudah reda." Ucapnya lalu bangkit. Apa dia mau
pergi? Aku baru saja mengobrol dengannya. Kenapa begitu terburu-buru?
"Mau kemana?"
"Sepertinya kau suka sekali bertanya. Tapi aku menyukaimu. Terimakasih
sudah mendengarkan ceritaku. Dan musiknya." Ucapnya lalu pergi begitu
saja.
"Hei kita belum kenalan." Dia berpaling dan mengulas senyum padaku.
"Kurasa tak perlu, karena kita tak akan bertemu lagi." Dia melambaikan
tangannya lalu melanjutkan langkahnya menuju pintu keluar.

Hari-hari berikutnya seperti biasanya aku tampil untuk menghibur para
pengunjung Kafe yang dulu aku dan wanita yang belum tau namanya
mengobrol. Obrolan sepintas yang lebih tepatnya aku menjadi pendengar.
Mendengar ceritanya yang begitu memprihatinkan. Pikir saja, lelaki
macam apa sih yang tega menyakiti perempuan secantik dia. Kenapa dia
menyia-nyiakan seseorang yang sangat mencintintainya. Ah, kenapa aku
memikirkan dia. Diakan bukan siapa-siapa. Tapi sungguh, aku masih
mengharapkan dia ada disini. Mendengarkan lantunan pianoku. Jujur saja
aku masih belum bisa melupakan kalimat yang dilontarkan padaku.
"Tapi aku mencintaimu." Walau aku tau apa maksudnya apa. Tapi kalimat
itu membuatku gelisah. Aku berusaha untuk menepis pikiran itu dan
melanjutkan permaina pianoku.

Hari minggu, hari yang ku tunggu-tunggu. Mungkin bukan hanya aku.
Mungkin semua mahluk yang ada didunia ini sangat menyukai hari minggu.
Karena hari minggu adalah hari bebas dari kegiatan. Dan hari ini aku
bebas dari yang namanya kuliah. Hari ini kuhabiskan waktu dirumah
saja. Malas untuk kemana-mana.
Ku duduk di sofa dan membolak-balikkan koran langganan ayahku. Aku
hanya membaca judul-judulnya saja.
Tak ada yang menarik!
Tapi ketika aku melihat foto wajah seperti yang kukenali, aku berhenti
membalikkan kertas.
Astaga! Inikan wanita yang dikafe itu. Kubaca judulnya.
"Gadis Cantik Yang Baru Ditemukan Setelah Tiga Hari Kematiannya."
Mulutku ternganga. Aku begitu kaget. Apakah ini benar-benar dia?
Kubaca kata demi kata isi berita itu. Entah berapa kali aku mengatakan
astaga. Tapi yang jelas hanya itu yang selalu keluar dari mulutku.
Menurut beritanya dia bunuh diri dengan cara memotong urat nadinya di
kamar kostnya. Ia baru ditemukan kemarin sekitar jam satu siang ketika
sang pemilik kost hendak menagihnya. Rupanya dia juga menulis pesan
terakhirnya dikertas yang ia taruh disampingnya. Kubaca pesan itu.
Sebelum aku pergi aku ingin menulis pesan terakhirkku dikertas ini.
Aku tidak bermaksud untuk mencari sensasi atau apapun. Aku tau aku
pasti akan masuk surat kabar atau berita-berita lainnya. Dan aku harap
dia melihatnya. Yah, ini untuk dia yang kucintai.
Hei, maaf kita tidak bisa kenalan, karena bagiku kenal atau tidak
maknanya sama saja, kita tidak bisa berjumpa lagi. Dan terima kasih
dengan musiknya. Sungguh, jarimu yang lentik itu mampu membuat
perasaanku yang tadinya seperti aliran sungai yang sangat deras
tiba-tiba saja jadi tenang setelah mendengar lantunan pianomu. Kau
tau? Aku jatuh cinta padamu saat itu dan kebetulan sekali kau malah
menghampiriku yang saat itu sedang minum cokelat panas. dan dengan
senang hati kau mendengarkan semua ceritaku. Tapi sayangnya, aku tidak
ingin peristiwa itu terulang kembali padaku. Jadi, aku putuskan untuk
mengakhiri hidupku agar rasa sakit yang tak bisa kuobati ini berakhir.
Sekali lagi terima kasih dengan apa yang kau lakukan padaku.
I Love U

Sekujur tubuhku terasa lemas, darahku mengalir tak beraturan seperti
jantungku yang kini semakin cepat berdetak. Aku bertanya
Kenapa?
Akukan tidak seperti lelaki yang kemarin diceritakannya. Sungguh, aku
juga mencintainya dari pertama kali kumelihatnya dan perasaan itu
muncul begitu saja. Tapi, kini dia sudah pergi. Pergi untuk selamanya.
Ada sedikit perasaan lega karena aku sudah tau namanya dan dia juga
mencintaiku.
Kini, aku hanya bisa mengucapkan selamat tinggal Diana.
I love U too.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun