Aku masih berdiri disini.
Diatas hamparan pasir yang
lembut.
Menatap sang laut tak
berujung bagai dunia yang ku pijak ini.
Berharap engkau muncul
membawa sejuta kerinduan yang kau ambil dari tengah laut.
Tapi engkau tak kunjung
muncul.
Padahal langit sama gelisahnya denganku.
Kemanakah engkau.
Sedang apakah engkau.
Aku disini sudah hampir
jenuh karena selalu di ejek oleh sang ombak.
Apa kau sudah lupa akan aku yang merindukanmu?
Apa kau sudah lupa akan
daratan yang mengharapkan pijakanmu?
Apa kau sudah lupa akan
rumah yang selalu
menaungimu?
Aku menatap sekeliling,
menyadari bahwa bukan aku yang berdiri disini.
Cukup banyak wanita
mengharapkan suaminya pulang.
Kini, rasa khawatir mulai menjalari tubuhku.
Oh, ada apakah gerangan?
Apa engkau baik-baik disana?
Ditengah laut biru yang
sedang marah siang tadi?
Suara tangis memilukan begitu memekakan telinga.
Yah, mereka sedang meratapi nasib suaminya.
Begitupun aku.
Tangisku tak kalah memilukannya dari mereka.
Air mataku sudah
menyatu dengan air laut.
Kini, aku dan mereka yang kehilangan suami hanya bisa pasrah.
Menunggu engkau datang.
Menunggu kedatangan jasadmu.
Bukan kebahagiaan yang ku sambut.
Duka lah yang menyambutmu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H