Semangat Anak-anak dalam Menempuh Ilmu demi Masa Depannya
Hari ini adalah hari pendidikan yang diperingati pada tanggal 02 Mei. Pendidikan merupakan hal pokok bagi setiap manusia yang hidup. Pendidikan itu ibarat pondasi dalam sebuah rumah. Pendidikan kebutuhan pokok yang tak bernilai harganya.
Masih ingatkah tentang perjuangan Ki Hajar Dewantara dalam bidang pendidikan ? Ya, beliau adalah salah satu tokoh penting dalam pendidikan Indonesia. Dalam perjuangannya terhadap pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara mempunyai Semboyan yaitu tut wuri handayani (dari belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan), ing madya mangun karsa (di tengah atau di antara murid, guru harus menciptakan prakarsa dan ide), dan ing ngarsa sung tulada (di depan, seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan baik). Semboyan ini masih tetap dipakai dalam dunia pendidikan kita. Salah satu jasa Ki Hajar Dewantara dalam dunia pendidikan adalah
Bangsa ini perlu mewarisi buah pemikirannya tentang tujuan pendidikan yaitu memajukan bangsa secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial, dan sebagainya, serta harus didasarkan kepada nilai-nilai kemerdekaan yang asasi.
“Pemikirannya tentang tujuan pendidikan yaitu memajukan bangsa secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial, dan sebagainya, serta harus didasarkan kepada nilai-nilai kemerdekaan yang asasi”
Biaya pendidikan mahal membuat segelintir anak-anak kurang mampu tak bisa mengenyam bangku sekolah atau menikmati "nikmat"nya ilmu pendidikan. Masih banyak daerah terpelosok di Indonesia membutuhkan uluran tangan kita untuk menyalurkan "kasih sayang" ilmu pendidikan. Banyak Anak Kota yang sekolah ugal-ugalan tanpa memikirkan bahwa pendidikan itu untuk masa depan, sedangkan anak-anak pelosok sangat bisa berharap untuk sekolah namun terbentur banyak kendala.
Program SM3T ( Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal)
Program SM3T adalah salah satu program untuk mahasiswa yang sudah lulus S1 pendidikan dan ingin merasakan pengalaman baru mengajar di daerah yang tertinggal, terpencil, jauh dari peradaban, tidak ada teknologi, apalagi gadget canggih, listrik saja belum tentu ada. ditambah lagi lokasi yang sangat jauh jalan kaki lewat hutan. Kegiatan SM3T berjalan selama 1 tahun masa pengabdian di daerah tersebut. Program yang dipelopori Mendikbud Mohammad Nuh itu sudah menerjunkan 2.400 calon guru PNS untuk kali pertama pada November 2011 ke berbagai pelosok negeri. Kini salah satu Universitas Negeri di Banda Aceh, yaitu Universitas Syiah Kuala dengan jurusan FKIP (Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan) terdengar kabar bahwa akan ditutupnya program tersebut.
Bila melihat kondisi saat ini, dimana anak-anak di daerah pelosok sangat membutuhkan saluran pendidikan yang sangat jauh ketinggalan dibandingkan dengan Ibu Kota. Pendidikan bersifat penting karena bisa membuat perubahan bagi suatu daerah, dengan adanya pendidikan bisa membentuk pola-pola pikir positif untuk membangun daerah mereka lebih dimasa akan datang.
Belum Terpenuhi 9 Tahun Program Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas)
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani mengatakan, pelaksanaan program wajib belajar 12 tahun akan dimulai Juni 2015.
"Rencananya Juni 2015 mulai diberlakukan," kata Puan Maharani seusai unjungan kerja di Bandung, Jawa Barat, Senin (12/1/2015).
Menurut Puan, pelaksanaan program wajib belajar 12 tahun sesuai janji kabinet kerja. Dengan adanya program wajib belajar 12 tahun, semua anak Indonesia wajib masuk sekolah dan pemerintah wajib membiayai serta menyediakan segala fasilitasnya. Puan mengatakan, hingga saat ini pemerintah terus melakukan berbagai persiapan terkait pelaksanaan program tersebut.
"Pemerintah ingin semua anak Indonesia berpendidikan, minimal hingga tingkat sekolah menengah atas," katanya.
( sumber : Puan Maharani: Wajib Belajar 12 Tahun Dimulai Juni 2015).
Bila melihat pernyataan Puan Maharani masih berbanding terbalik dengan kenyataan. Karena "mereka" ( para anak-anak) pelosok masih belum merasakan apa yang namanya pendidikan. Dengan banyaknya Univesitas di Indonesia yang men"ciptakan" calon pendidik sudah seharusnya program seperti bisa berjalan. Jumlah lulusan S-1 pendidikan tiap tahunnya terus meningkat. Bila dihitung-hitung, jumlah pengajar dengan perserta didik bisa disimpulkan bahwa jumlah pendidik melebihi kapasitas dan sangat cukup untuk mengajar para peserta didik yang ada di Indonesia baik di Ibu Kota maupun di daerah pelosok.
UN Bukan standar Keberhasilan Pendidikan
Peringkat pendidikan Indonesia masih terbilang jauh dari Negara-negara lain. Bila kadar pendidikan itu dihitung hasil UN maka itu suatu pembodohan dan bukanlah suatu keberhasilan pendidikan. Dalam ujian UN masih banyak terdapat kecurangan-curangan yang terjadi. Bila ada sekolah yang lulus 100% bukanlah suatu keberhasilan tapi harus dievaluasi terlebih dahulu, apa benar sudah 100% atau ada kecurangan. Bila ada Sekolah yang tidak 100% bukan berarti sekolah itu muridnya bodoh atau gurunya tak bisa mengajar. Itu bisa menjadi bahan pembelajaran, karena dalam setiap pelaksanaan ujian UN kondisi siswa sangatlah penting, baik itu kesehatan jasmani dan rohani.
Untuk menilai pendidikan itu berhasil atau tidak adalah bagaimana melihat perubahan yang terjadi pada siswa. Dan pengaplikasian ilmu itu pada kehidupannya. Perubahan dan pengaplikasian itu penting, baik dari perubahan sikap itu sendiri maupun perubahan yang diperbuat oleh siswa itu sendiri bagi daerahnya. Dan pengaplikasian ilmu tersebut bisa dilihat dari lapangan kerja yang bisa dia ciptakan dengan ilmunya.
Harapan Untuk Aceh
Aceh memiliki lembaga yang "melahirkan" para pendidik, baik itu universitas Swasta maupun Negeri. Sudah sepatutnya Pemerintah mampu mengendalikan sistem pendidikan di Aceh. Dengan lulusan yang bertambah setiap tahunnya, dan penambahan angka pengangguran juga ikut bertambah karena ketersedian lapangan pekerjaan yang berkurang. Untuk menjadi guru kontrak atau mengabdi harus ada orang dalam atau orang yang dikenal. Bila memang masih menggunakan sistem seperti itu jangan harap pendidikan Aceh akan berkembang.
Banyak lulusan Aceh yang sukses di Luar Negeri yang merasa kecewa karena diabaikan di daerahnya sendiri. Malahan mereka mendapatkan tempat di Luar Negeri. Terhitung banyak Alumni-alumni Universitas Syiah Kuala atau Swasta lainnnya yang mampu berkembang di Luar Negeri yang sebagaian dari mereka itu "tidak dipakai" oleh Aceh.
Kita di Aceh memiliki SDM (Sumber Daya Manusia) yang sangat kompeten, berdedikasi, dan berilmu. Bila Pemerintah Aceh tak bisa memanfaatkannya dengan jumlah SDM yang berlimpah tersebut, berarti Aceh menyia-yia kan SDM yang ada. Untuk Aceh kita kelebihan para "pelaku pendidikan" yang muda, inovasi, kreatif dan merakyat. jangan sampai mereka ( anak-anak muda kreatif) ini hilang dalam genggaman Aceh dan malah berkiprah di Luar Negeri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H