Bertahun setelah itu, saya lulus sekolah, merantau untuk bekerja dan memiliki penghasilan. Ketika uang di tabungan mencapai nominal yang cukup untuk menebus harga sepetak sawah, kebetulan ada seseorang yang datang menawarkan sawahnya kepada saya. Sawah yang letaknya tak jauh dari rumah kami, untuk mencapainya hanya butuh beberapa ayunan langkah kaki.
Mendapat penawaran itu, entah kenapa hal pertama yang  terlintas di kepala saya adalah pesan ibu bertahun silam itu. Tanpa berpikir panjang saya menerima tawaran itu. Bahkan dalam waktu yang tidak lama orang yang sama kembali menawarkan sepetak tanahnya lagi dengan ukuran yang lebih luas kepada saya, dan puji syukur saya pun dimampukan membelinya lagi.
Saat itu saya berpikir mungkin sawah itu bukan rezeki saya, itu karunia yang Tuhan berikan untuk ibu lewat tangan saya. Saya tak pernah bercita-cita menjadi petani. Begitupun lambung saya bukan potongan yang kuat bekerja di sawah. Tapi siapa sangka sawah adalah pembelian pertama yang menguras tabungan saya sampai tandas saat itu. Bukan mobil atau rumah yang harganya mungkin setara dengan itu. Saya akhirnya sadar jika sebenarnya Tuhan hanya nyilih tangan saya untuk mengantarkan ibu pada apa yang diimpikannya.
***
Orang di kampung saya meyakini kalau memiliki sawah di tempat kami itu ibarat bertemu jodoh, yang cara mendapatkannya tak bisa dipaksakan. Sebanyak apapun pundi uang yang kita miliki, kadang tak akan bisa membeli sawah jika saat itu tidak ada yang menjualnya.
Sawah di desa saya adalah hal yang tak akan pernah dilepas pemiliknya kecuali urgensinya mendekati urusan nyawa atau sesuatu yang setara dengan itu. Sawah bukan hanya dinilai sebagai aset, yang dengan begitu mudah dipindah tangankan jika kita merasa cukup dengan keuntungan dari penambahan nilainya. Apalagi jika sawah itu harta waris, maka di dalamnya ada nilai historis leluhur dan segala kenangan yang seberapapun nilai uang tak pernah sepadan sebagai penukarnya.
Beberapa tahun setelah pembelian sawah itu nenek 'katimbalan', sawah nenek diwariskan kepada pakde (kakak laki-laki tertua ibu). Sawah yang biasa ibu garap harus diserahkan kepada pemilik sahnya. Namun untungnya ibu yang tak terbiasa dengan aktivitas lain di luar bertani, masih dapat menggarap sawah yang saya beli.
Sawah bagi orang di kampung itu bukan sekedar tempat bercocok tanam, melainkan papan sobo (tempat yang sering disambangi ketika keluar rumah). Saya dapat membayangkan alangkah besar kehilangan yang akan ibu rasakan jika akhirnya tak ada lagi sawah untuk dia kunjungi setiap hari. Dan kekhawatiran seperti itu tak pernah terjadi. Sawah pengganti itu ada sebelum yang tadinya dimiliki itu pergi.
Setiap kali melihatnya bergumul dengan aktivitas sawah, saya dapat melihat ada kebahagiaan merekah di sudut wajahnya. Ketika genderang musim tanam baru ditalu, ibu ikut riuh dengan aktivitas warga desa lainnya. Setiap pagi berpeluh keringat, mengayun cangkul, menyemai bibit, dan menabur pupuk. Bapak semangat menjalankan traktor dengan sisa tenaganya yang mulai ringkih. Itulah sesuatu yang lebih bernilai sebagai kebahagiaan daripada sekedar pekerjaan.
***
Jikalau sekarang ini sesekali saya pulang dari rantau menengok ibu, Bapak, dan desa itu, gambaran tentang sawah di kepala saya tak lagi tentang hal yang melelahkan. Di sana saya melihat sumber ketentraman, meski dinamika yang dirasakan petaninya kadang pahit, dan getir menyeling manisnya hasil panen yang tak seberapa. Sawah tetap menjadi tempat yang selalu dituju, di-sabani setiap hari. Karena di sana adalah kehidupannya.