Beberapa waktu lalu kita dihebohkan oleh kasus viral di media sosial. Seorang imam masjid di Kayu Agung Kabupaten OKI, dibacok parang saat Sholat Maghrib sampai akhirnya meninggal dunia. Sontak kasus ini cukup menarik perhatian publik, dan mendapat berbagai respon dari berbagai kalangan masyarakat.Â
Dari beberapa tanggapan netizen terhadap kasus ini, saya tergelitik oleh tanggapan sebagian orang yang mungkin hanya membaca judul berita lalu bereaksi cukup keras. Kerasnya, semangatnya, boleh sih, namun tidak relevan dengan faktanya.Â
Seperti yang sudah-sudah, ada sebagian orang yang memperkeruh keadaan dengan menggiring opini seolah kasus ini adalah ancaman dari luar terhadap Umat Islam. Bahkan sampai ada yang menyeru umat islam untuk waspada!!! (ya, pakai tiga tanda seru)
Seruan kepada umat Islam untuk waspada dalam menanggapi kasus ini terasa seperti bentuk insecure sebagai muslim atas ancaman dari pihak luar. Padahal faktanya tidak demikian adanya, kasus ini adalah perselisihan antar dua individu muslim, menyangkut pautkan kasus ini dengan para umat justru akan memprovokasi umat.
Mari kita lihat fakta dari kasus tersebut. Imam sholat yang dibacok adalah seorang ketua DKM, pelakunya pengurus DKM, dan motifnya adalah masalah terkait pengelolaan kotak amal. Hmm, sampai di sini semoga tidak ada respon kemarahan yang kita timpakan kepada siapa pun di luar umat islam itu sendiri.
Dalam kasus tindak pembunuhan imam Masjid Kayu Agung ini, mau tidak mau kita harus melihat dengan kaca mata berbeda. Ada sebuah ironi ketika dilihat dari konstruksi kasusnya. Korban, pelaku, dan motifnya adalah entitas dalam Islam yang ketika dihubungkan secara logika akal sehat tidak mungkin akan ada potensi keburukan, apalagi sampai terjadi tindakan kriminal berat hingga menghilangkan nyawa seseorang.Â
Kesediaan seseorang menjadi pengurus DKM, kemudian mendermakan pikiran dan tenaga untuk agama tentu sikap mulia yang mungkin tidak semua muslim bersedia mengambil peran tersebut. Akan tetapi, siapa sangka di dalam kerangka sosial dan holistik keagamaan yang sedemikian dalam itu, muncul tindakan mengerikan yang mengoyak nilai kemanusiaan.Â
Berkaca dari kasus ini, respon paling tepatnya kita sebagai Muslim adalah kembali menengok pada diri sendiri tentang cara keberislaman kita.
***
Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof. Nasaruddin Umar, pernah menyampaikan bahwa inti dari ajaran Islam sesungguhnya adalah tentang cinta dan kasih sayang. Dalam Al-fatihah surat pembuka Al-Quran, ayat pertamanya memperkenalkan sifat Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Cinta adalah mahkota Al-Quran, sumber ajaran Islam. Cinta juga merupakan sifat utama Allah di antara sekian banyak sifat-Nya yang lain.
Sudah seharusnya siapa pun yang bersentuhan dengan ajaran Islam, dia akan mengenal kebesaran kasih-sayang Allah, serta pribadinya akan menampilkan perilaku yang mudah untuk berkasih-sayang kepada sesama. Bukan hanya terhadap mereka yang seiman sekeyakinan, bahkan terhadap mereka yang berbeda sekali pun. Karena memang begitulah seharusnya.
Rabi'ah Al Adawiyah, seorang tokoh yang dijuluki ibu para sufi, mengenalkan sebuah konsep beragama dengan menjadikan cinta sebagai inti dari nilai keseluruhannya, lewat sebuah jawaban atas pertanyaan yang mengarah kepadanya:
"Apakau kau cinta kepada Tuhan yang Maha Kuasa? Ya, apakah kau benci kepada syaitan? Tidak, cintaku kepada Tuhan tidak meninggalkan ruang kosong dalam diriku untuk rasa benci kepada syaitan"
Baginya cinta menjadi value superlatif sehingga ketika beriman dia memilih untuk jalan untuk mencintai Tuhannya, rasa itu akan memalingkan dirinya dari rasa cinta dan benci kepada hal yang lainnya. Alangkah beruntungnya mereka yang tak menyisakan ruang kosong dalam hatinya untuk membenci liyan.
Perjalanan ruhani tokoh sufi seperti Rabi'ah Al Adwiyah memang telah mencapai kedudukan Mahabbah dan ma'rifat di sisi Tuhannya. Akan tetapi untuk sampai ke sana ada jalan atau perilaku galib yang bisa ditempuh oleh orang awam sekali pun, seperti sabar dan syukur serta amal kebaikan lainnya. Dengan jalan tersebut, tidak mustahil diri kita yang rendah ini akan terhujami cinta yang membawa kita pada kedekatan pada Allah, Dzat Ar-Rahman, Ar-Rahiim. Ruh cinta itu akan tampak pula dalam perilaku keseharian, menjadi manusia yang mudah untuk berkasih-sayang pada sesama.
***
Nilai-nilai Islam akan membawa seseorang menjadi pribadi yang dekat dengan Allah dan mengenal sifat cinta-Nya yang agung. Ibarat tanah subur yang ketika tetesan embun cinta itu menyentuhnya di sana akan tumbuh kesucian hati, keikhlasan, kesetiaan, budi pekerti yang tinggi, dan segala sifat yang terpuji.
Karakter hamba seperti ini bawaannya akan selalu tenang, dan hatinya tidak akan mudah dikotori oleh perasaan negatif yang menggerus sisi keluhungan kita sebagai pribadi yang beragama.
Melihat kasus pembunuhan yang terjadi di Masjid Kayu Agung tersebut, sepertinya urgensi membumikan "cinta" sebagai manifestasi pengamalan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari begitu nyata. Ini dakwah yang harus terus kita gaungkan. Karena masih banyak di antara kita yang mengaku berislam, namun tangannya begitu ringan untuk membubuhkan rasa sakit pada sesama. Bertindak atas nama Islam, tetapi laku perbuatnnya justru mencoreng wajah Islam itu sendiri.
Tentu perilaku seperti ini jauh dari inti ajaran Islam yang sesungguhnya. Berislam sudah seharusnya menjadikan pribadi yang lekat dengan sifat rahmah dan berhias akhlaq karimah. Bukan seorang yang lantang meneriakkan ayat suci, namun setelah itu begitu mudah memaki dan menyakiti.Â
Akan tetapi, dengan berat hati harus kita akui, corak seperti inilah keberislaman sebagian kita hari ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H