Rabi'ah Al Adawiyah, seorang tokoh yang dijuluki ibu para sufi, mengenalkan sebuah konsep beragama dengan menjadikan cinta sebagai inti dari nilai keseluruhannya, lewat sebuah jawaban atas pertanyaan yang mengarah kepadanya:
"Apakau kau cinta kepada Tuhan yang Maha Kuasa? Ya, apakah kau benci kepada syaitan? Tidak, cintaku kepada Tuhan tidak meninggalkan ruang kosong dalam diriku untuk rasa benci kepada syaitan"
Baginya cinta menjadi value superlatif sehingga ketika beriman dia memilih untuk jalan untuk mencintai Tuhannya, rasa itu akan memalingkan dirinya dari rasa cinta dan benci kepada hal yang lainnya. Alangkah beruntungnya mereka yang tak menyisakan ruang kosong dalam hatinya untuk membenci liyan.
Perjalanan ruhani tokoh sufi seperti Rabi'ah Al Adwiyah memang telah mencapai kedudukan Mahabbah dan ma'rifat di sisi Tuhannya. Akan tetapi untuk sampai ke sana ada jalan atau perilaku galib yang bisa ditempuh oleh orang awam sekali pun, seperti sabar dan syukur serta amal kebaikan lainnya. Dengan jalan tersebut, tidak mustahil diri kita yang rendah ini akan terhujami cinta yang membawa kita pada kedekatan pada Allah, Dzat Ar-Rahman, Ar-Rahiim. Ruh cinta itu akan tampak pula dalam perilaku keseharian, menjadi manusia yang mudah untuk berkasih-sayang pada sesama.
***
Nilai-nilai Islam akan membawa seseorang menjadi pribadi yang dekat dengan Allah dan mengenal sifat cinta-Nya yang agung. Ibarat tanah subur yang ketika tetesan embun cinta itu menyentuhnya di sana akan tumbuh kesucian hati, keikhlasan, kesetiaan, budi pekerti yang tinggi, dan segala sifat yang terpuji.
Karakter hamba seperti ini bawaannya akan selalu tenang, dan hatinya tidak akan mudah dikotori oleh perasaan negatif yang menggerus sisi keluhungan kita sebagai pribadi yang beragama.
Melihat kasus pembunuhan yang terjadi di Masjid Kayu Agung tersebut, sepertinya urgensi membumikan "cinta" sebagai manifestasi pengamalan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari begitu nyata. Ini dakwah yang harus terus kita gaungkan. Karena masih banyak di antara kita yang mengaku berislam, namun tangannya begitu ringan untuk membubuhkan rasa sakit pada sesama. Bertindak atas nama Islam, tetapi laku perbuatnnya justru mencoreng wajah Islam itu sendiri.
Tentu perilaku seperti ini jauh dari inti ajaran Islam yang sesungguhnya. Berislam sudah seharusnya menjadikan pribadi yang lekat dengan sifat rahmah dan berhias akhlaq karimah. Bukan seorang yang lantang meneriakkan ayat suci, namun setelah itu begitu mudah memaki dan menyakiti.Â
Akan tetapi, dengan berat hati harus kita akui, corak seperti inilah keberislaman sebagian kita hari ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H