Mohon tunggu...
HIDAYAH RAHMAD
HIDAYAH RAHMAD Mohon Tunggu... Lainnya - -HnR-

Pekerja Profesional dan Interpreter

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Yang Tersisa dari Ramadan: Tidak Khatam Al Quran "Lagi"

27 Mei 2020   17:12 Diperbarui: 27 Mei 2020   17:04 1032
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bulan Ramadhan adalah bulan yang mulia dan banyak berkahnya. Kita pasti juga sering mendengar dari mimbar-mimbar kultum bahwa bulan Ramadhan juga disebut sebagai bulannya Al-Quran. Karena memang sangat banyak sekali dalil yang menunjukkan hal ini. Oleh karena itu, salah satu amalan yang sangat dianjurkan untuk menghiasi Bulan Ramadhan adalah dengan bertilawah Al-Quran.

Begitu utamanya amalan membaca Al Quran di Bulan Ramadhan ini, sebagian dari kita seakan berlomba untuk dapat melakukannya semaksimal mungkin. Bahkan ada yang membuat target khatam dalam sekian hari saja. Capaian tilawah seakan menjadi parameter setiap orang untuk menilai seberapa produktif Ramadhan ini.  

Tentu kita tidak asing dengan pertanyaan, " Sudah sampai juz berapa?" Pertanyaan template yang mungkin hanya ditanyakan di setiap Bulan Ramadhan saja. 

Ramadhan dan amalan tilawah Al-Quran adalah sebuah paket yang tak terpisahkan, namun yang menarik adalah ketika kita mencoba melihat bagaimana cara setiap orang melewati hari-harinya berinteraksi dengan Al-Quran selama waktu sebulan itu. Setiap orang memiliki caranya masing-masing. Dan saya pun mempunyai cerita tersendiri di lingkungan keluarga kecil ini.

"Sudah juz berapa, kak? Budhe sudah khatam sekali loh." 

Tanya Ibu Mertua kepada istri saya lewat sambungan telepon yang sempat saya curi dengar saat di pertengahan Ramadhan yang lalu. Budhe yang Ibu Mertua saya sebut tadi memang sosok teladan dalam ibadah di keluarga besar istri. 

Dari capaiannya saat itu, saya bisa menebak mungkin tergetnya dua kali khatam selama Bulan Ramadhan. Budhe kami memang luar biasa, lantas bagaimana dengan kami?

Seperti biasa, saat itu Ramadhan sudah setengah berlalu, sejauh itu belum ada yang khatam dari keluarga kami. Istri saya, Ramadhan tahun ini dia masih kepontal-pontal menyesuaikan ritme antara jadwal tilawah, experiment di dapur, dan ngurus anak kami yang saat ini menginjak usia 16 bulan. Sedang aktif-aktifnya, kadang ngisruh juga. 

Suatu hari ba'da subuh saya sempat melirik pembatas halaman mushafnya, sepertinya target dia untuk khatam di akhir Ramadhan tak akan tercapai. Dikebut sekali pun. Dan benar adanya, sampai Ramadhan berakhir dia tidak khatam. Masih kurang banyak.

Padahal dulu sebelum punya anak, istri saya termasuk tipe orang yang bertilawah dengan jalur expres. Dia cukup cepat membaca Al-Quran menyusuri halaman demi halaman dan target khatam di akhir Ramadhan selalu tercapai. Tahun depan semoga bisa memperbaiki apa yang kurang dari Ramadhan tahun ini, jika allah memberikan rezeki untuk bertemu Ramadhan lagi. Insyallah Aamiin.

Bagaimana dengan saya sendiri? Jujur saja, saya sudah lupa kapan terakhir kali pernah mengkhatamkan Al-Quran dalam waktu sebulan Ramadhan. Siang itu saat menelpon istri saya, sekilas kudengar Ibu Mertua juga meng-update amalan tilawah saya selama Bulan Ramadhan. 

Dengan fakta historis tilawah saya tersebut, saya berpikir kredibilitas saya sebagai menantu idaman pasti akan runtuh dalam sekejab di mata Ibu Mertua. 

Jelas, setiap orangtua pasti berharap punya menantu sholih, rajin mengaji, yang biasanya (meskipun nggak harus, tapi seharusnya) minimal sekali khatam Al-Quran selama Ramadhan. Bha.

Tapi untung istri saya cukup cerdik menjawab pertanyaan tersebut, "Kalau Mas style-nya beda, Ma. Dia nggak ada target, pelan-pelan sambil baca terjemahan." Untuk tidak mengatakan fakta memalukan bahwa tilawah saya baru sedikit. 

Mendengar jawaban yang istri saya berikan saya hanya senyum sendiri. Ya mungkin istri saya benar, saya bisa dibilang tipe pengamal tilawah jalur lambat. Dan memang faktanya saya -kembali- tidak dapat mengkhatamkan Al-Quran selama Ramadhan yang lalu.

Kalau boleh disebut alasan atau pembenaran atas kemalasan saya kenapa tidak bisa mengkhatamkan Al-Quran dalam sebulan Ramadhan, begini saya jelaskan.

Saya selalu berusaha untuk meniatkan ketika membaca Al-Quran harus beserta artinya. Saya bukan orang yang pandai Bahasa Arab, bahasa yang dipakai Al-Quran. Namun saya merasa beruntung bahwa mencetak Al-Quran dengan terjemahannya tidak dilarang oleh negara. Sehingga mudah bagi orang yang tak pandai Bahasa Arab seperti saya ini untuk tetap bisa mengerti makna setiap ayat Al-Quran yang dibaca.

Dalam sebuah kanal Youtube-nya Mba Najwa, "Shihab & Shihab" saya pernah mendengar uraian Prof. Quraish Shihab tentang cara paling utama bagi kita dalam berintraksi dengan Al-Quran. 

Beliau mengatakan bahwa seseorang yang mengulang-ulang tadarus Al-Quran meskipun hanya beberapa ayat dalam sehari atau sebulan dengan pemahaman yang baik, lebih bagus daripada mereka yang tamat Al-Quran tetapi dia tidak memahami isinya. 

Sejak saya mempunyai mushaf yang ada terjemahannya, seingat saya, saya tak pernah membacanya tanpa melirik artinya. Ketika mulai membaca, saya selalu berniat untuk memahami setiap ayatnya, sebaik-baiknya. Seolah-olah semua itu memang Allah berikan langsung untuk saya, seperti Allah berbicara langsung kepada saya.

Al-Quran selalu menjadi bacaan berat bagi saya untuk dibawa berlari cepat. Setiap ayatnya terkadang membuat saya berhenti dan kemudian mengulanginya lagi dan lagi. 

Bahkan dalam satu kisah Rasullullah SAW. pernah merasa begitu berat ketika menerima wahyu pertama. Ayat-ayat itu terasa begitu berat oleh Beliau, sampai tubuh mulia itu menggigil dan meminta istrinya Khadijah untuk menyelimutinya.

Pernah satu waktu saya hanya membaca beberapa ayat dari Al-Quran yang saya ulang berkali-kali dalam beberapa hari. Itu pun jumlah ayat yang sedikit. Saat itu saya merasa ayat yang kubaca tersebut begitu pas sebagai jawaban atas konteks peristiwa saat itu. Seakan saya tak bisa lepas dari ayat itu untuk satu waktu, dan ada keinginan untuk terus mengulanginya lagi dan lagi.

Saya percaya bahwa ayat Al-Quran yang kita baca akan memberikan dampak luar biasa besar terhadap sisi spiritualitas kita, tentunya jika kita benar mamahami dan menemukan sisi kontektualnya dalam kehidupan yang kita jalani saat ini. 

Saya teringat cerita pertaubatan seorang almarhum Gito Rolies. Kisah yang diceritakan oleh Ustadz Arifin Ilham kepada kami saat Beliau kami undang ke Korea Selatan saat itu. 

Dalam perjalanan taubatnya Gito Rolies begitu senang mendawamkan satu ayat, Az zumar: 53 (silakan lihat artinya sendiri). Hanya satu ayat itu yang selalu ingin dia dengar lagi dan lagi. 

Bahkan menurut Ustadz Arifin Ilham setiap kali Gito Rolies bertemu dengannya, dia pasti meminta untuk dibacakan ayat tersebut. Seolah satu ayat itu cukup baginya untuk mengantarkannya -kembali- dekat dengan Tuhannya. Hatinya menemukan ketenangan ketika membaca ayat ini. 

Begitu dahsyatnya kalam Allah itu dapat mengisi relung jiwa seorang hamba. Dan itu hanya akan kita rasakan jika kita dapat memahami maknanya, dan secara kontekstual bersentuhan dengan diri kita sendiri. Bukankah pengalaman seperti ini yang ingin kita temukan dari mengaji Al-Quran?

Kita semua pasti ingin mengkhatamkan Al Quran dalam sebulan Ramadhan. Namun, setiap orang memiliki caranya tersendiri dalam mendaras kalam suci ini. Saya merasa cara terbaik buat diri saya dalam berinteraksi dengan Al-Quran adalah dengan membacanya perlahan dan mencoba memahami artinya. 

Seperti pesan Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, hendaknya kita tidak terburu-buru dalam membaca Al-Quran dan lebih mencari kekhusyu'an dan tuma'ninah. Bahkan mencari khusyu' dan tuma'ninah lebih utama daripada perhatian terhadap mengkhatamkan" (Majmu' Fatawa bin Baz 15/324, Asy Syamilah)

Dengan membaca perlahan, selama ini memang sulit bagi saya untuk bisa mengkhatamkan Al-Quran dalam satu Ramadhan. Akan tetapi entah kenapa tak pernah ada juga keinginan dari diri saya untuk lebih tergesa dalam hal ini. 

Dengan membaca perlahan bersama artinya, saya lebih dapat memahami kandungan Al-Quran secara kontekstual, tak sekedar tekstual belaka. Seperti memiliki perasaan intim ketika berinteraksi dengannya. 

Rasa yang tak dapat saya hadirkan ketika dulu masih menargetkan khatam minimal sekali atau dua kali dalam sebulan Ramadhan dengan membacanya cepat dan cenderung terburu-buru.

Dengan membaca cepat, mungkin lisan saya masih bisa memastikan huruf demi hurufnya tak ada yang terlewat. Namun saya kehilangan kenikmatan dalam bertilawah itu sendiri. Saya merasa seperti orang mabuk di tengah ibadah, tak mengerti apa yang saya baca, tak memahami apa yang saya ucapkan.

Selain itu, mungkin pilihan untuk tilawah lambat dengan men-tadabburi artinya juga bisa jadi alternatif buat kaum malas tanpa target khatam seperti saya untuk tetap terlihat keren sekaligus jawaban paling elegan jika Ibu Mertua saya kembali bertanya di akhir Ramadhan; 

"Tilawahnya khatam tidak, Mas?" 

"Cuma sampai Juz 20, beserta terjemahannya!"

Masih terdengar keren, bukan?  Eh, kok malah kedengaran sombong ya.. Astaghfirullaah. 

Ramadhan tahun ini sudah berlalu, menjelang detika akhir saya mendengar Ibu Mertua saya berhasil khatam, dan tahun ini Blio The Only One dari keluarga kami. Sayangnya, jawaban keren yang sudah saya persiapkan di atas tak dapat saya sampaikan. Di Akhir Ramadhan Blio tidak juga menanyakan apakah menantunya ini khatam atau tidak. Mungkin Blio sudah bisa menebak jawabannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun