Pada esai yang membahas soal sistem pendidikan di Indonesia, Aku pernah berkata bahwa sistem zonasi sudah bagus, namun perlu waktu yang sangat lama untuk mensukseskannya. Nah, fakta bahwa saat penerimaan peserta didik baru melalui jalur zonasi, banyak sekolah yang kekurangan murid. Selain itu, fakta bahwa adanya calon peserta didik yang dititipkan pada KK orang lain merupakan tamparan keras betapa bobroknya sumber daya manusia di Indonesia.
Penitipan nama calon peserta didik di KK orang lain merupakan tindakan penipuan, bukankah pemalsuan data KK itu sebuah pidana? Lantas, kenapa banyak orangtua rela melakukan tindakan pidana hanya demi anaknya bersekolah di sekolah yang dinilai bagus kualitasnya?
Sumber Daya Pengajar
Jika melihat kasus "sekolah favorit" dan "sekolah tidak favorit", tentu ada diskriminasi antar sekolah. Maka dari itu, penghapusan status Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional oleh MK sudah tepat, dan seharusnya diikuti oleh status-status yang lain, misalnya sekolah "unggulan" dan "tidak unggulan". Nah, kiranya apa yang membuat sebuah sekolah menjadi lebih unggul?
Tenaga pengajar yang kualitasnya lebih bagus tentu menjadi faktor pendukung, namun kita tidak bisa asal menilai tanpa mengetahui uji kompetensi pengajar. Nah yang jadi pertanyaan, "apakah semua sekolah tidak unggulan tenaga pengajarnya tidak bagus?".
Pengalaman Saya sebagai murid di Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional dulu, tidak semua pengajar di sana berkompetensi sesuai label sekolahnya. Saya pun tak pernah mendengar pengajar melakukan riset, namun ada salah satu pengajar (wali kelas Saya) yang mendapatkan penghargaan dari Dinas Pendidikan setempat.
Namun, di antara sekelumit fakta tentang tenaga pengajar, ada satu kesamaan mencolok di antara tenaga pengajar di sekolah unggulan dan tidak unggulan, yaitu sikap dalam mengajar.
Ada pengajar yang malas-malasan ketika mengajar, ada pengajar yang merundung muridnya, ada pengajar yang diskriminasi (murid pintar dan murid tidak pintar, bahkan ada juga pengajar yang otaknya cabul.
Nah hemat Saya, Pemerintah khususnya Kementerian Pendidikan harus melakukan tes kompetensi ulang, yang hingga menyasar ke urusan "moral" pengajarnya.
Keadaan Fisik Sekolah
Selain tenaga pengajar, keadaan fisik (bagunan) sekolah juga menjadi salah satu alasan sekolah itu menjadi "favorit" para orangtua calon murid. Mereka akan melihat apakah sekolah itu bagus atau tidak bangunannya, bebas banjir atau tidak, bersih atau kotor, dlsb.
Nah, Pemerintah harusnya sudah mengetahui kondisi fisik sekolah sehingga sekolah itu tidak diminati oleh orangtua calon murid. Bantuan berupa renovasi sekolah yang sudah "tidak layak" merupakan tanggung jawab dari Pemerintah, dan guna menghindari korupsi bantuan renovasi, serahkan saja kepada KemenPUPR di bawah perintah Presiden.
Peserta didik yang bersekolah di Sekolah Negeri berhak untuk mendapatkan fasilitas (hingga bangunan yang layak), mereka berhak mendapatkan hal yang sama dengan murid yang berada di "sekolah unggulan".
Batasi Jumlah Sekolah Swasta
Tak bisa dipungkiri, keberadaan sekolah swasta menjadi salah satu penyebab diskriminasi pendidikan di Indonesia. Selain itu, dengan maraknya sekolah swasta malah semakin memperparah komersialisasi pendidikan. Memang, bagi keluarga tidak mampu tidak disarankan untuk masuk ke sekolah swasta. Namun yang jadi pertanyaan yaitu, "bagaimana jika sekolah swasta kualitasnya lebih bagus dari sekolah negeri?".
Orangtua Saya rela mengeluarkan uang yang tidak sedikit agar Saya bisa bersekolah di sekolah swasta dengan status (saat itu) RSBI, tentu sekolah itu memiliki banyak sekali keunggulan dibanding sekolah negeri di sekitar rumah Saya. Fasilitas, sarana, iklim pendidikan, dlsb, sekolah swasta itu lebih unggul dari sekolah negeri. Nah yang jadi pertanyaan berikutnya yaitu, "bagaimana jika semakin banyak sekolah swasta yang lebih unggul dari sekolah negeri?".
Dengan semakin banyaknya sekolah swasta, tentu persaingan antar sekolah akan semakin rumit, dan tentunya semakin akan memperparah komersialisasi pendidikan. Jika faktanya demikian, bukankah bisnis "sekolah" menjadi salah satu ladang yang sangat potensial? Sekolah dari tingkat SD hingga Perguruan Tinggi sangatlah banyak, dan sekolah yang "tidak unggul" tentu akan kalah saing.
Nah yang perlu jadi perhatian, jika ada sekolah negeri yang tutup imbas persaingan bisnis pendidikan, bukankah hal itu menunjukan bahwa Indonesia telah gagal dalam menyetarakan pendidikan di Indonesia?.
Kesalahan Berpikir Masyarakat di Indonesia
Poin yang lebih penting dari masalah yang ada pada sistem pendidikan di Indonesia yaitu, logika masyarakatnya yang cacat, contohnya pada penitipan calon peserta didik di KK orang lain.
Perbuatan di atas jelas salah, bahkan memenuhi unsur pidana tapi kenapa mereka tidak menyadarinya? Anehnya, banyak sekali orangtua dari calon murid yang melakukan hal serupa, dan ketika mereka melakukan kejahatan secara massal, bukankah tindakan mereka dinilai lumrah oleh orang lain?
Katakanlah seperti sistem pemilu, banyak serangan fajar yang dilakukan oleh timses dan perbuatan itu sudah menjadi hal yang lumrah karena dilakukan oleh mayoritas calon legislatif maupun eksekutif. Nah jika serangan fajar dijadikan kebiasaan, tentu sistem perpolitikan di Indonesia akan semakin rusak.
Hal tadi tidak ada bedanya dengan "nitip KK" oleh orangtua calon murid, jika hal itu di"lumrah"kan, tentu iklim pendidikan di Indonesia akan terus bobrok.
Maka dari itu, solusi yang Saya tawarkan pada esai yang membahas soal pendidikan waktu itu ialah, perbaiki dulu mindset Warga Negara Indonesia (sipil dan pejabat).Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H