Mohon tunggu...
Hara Nirankara
Hara Nirankara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis Buku | Digital Creator | Member of Lingkar Kajian Kota Pekalongan -Kadang seperti anak kecil-

Selanjutnya

Tutup

Sosok

Susi, Laut, dan Kemiskinan Nelayan

26 Juli 2023   18:50 Diperbarui: 26 Juli 2023   18:54 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kabar tentang nama Susi Pudjiastuti yang dirumorkan akan menjadi cawapres dari Anies Baswedan semakin santer beredar, kedekatan keduanya pun diunggah pada jejaring sosial yang mereka miliki. Sontak saja, banyak yang berharap bahwa Anies dan Susi akan maju pada Pilpres 2024 mendatang.

Bu Susi ini menurutku sosok potensial, yang mana seharusnya tidak terbujuk rayuan Anies Baswedan untuk menemaninya pada perhelatan pada tahun politik 2024. Kenapa? Dari awal menjabat sebagai Menteri Kelautan, Bu Susi merupakan sosok profesional yang tak terikat dengan partai politik. Coba bayangkan, sosok potensial seperti beliau harus tunduk dengan kepentingan politik jika menjadi cawapres, akankah kebijakan yang ia ambil akan jauh dari kepentingan politik?

Menenggelamkan Kapal Pencuri Ikan

Pada awal masa jabatannya, Bu Susi langsung mengeluarkan kebijakan menenggelamkan kapal asing pencuri ikan. Imbas dari kebijakan ini tentunya membuat nelayan lokal mendapatkan angin segar, dan populasi kapal asing pencuri ikan di Indonesia semakin berkurang.

Mirisnya, setelah Susi tidak lagi berada di kabinet Pak Jokowi, kebijakan menenggelamkan kapal asing pencuri ikan justru semakin dikurangi. Alasannya, dalam menenggelamkan kapal pencuri ikan, dibutuhkan biaya hingga Rp 100 juta. Sedangkan kebijakan ini tentunya akan menguntungkan kapal asing, yang mana mereka pasti mempunyai bekingan dari aparat di Indonesia.

Ide menenggelamkan kapal asing pencuri ikan ini sangat bagus, dan jika kebijakan ini dikurangi karena "boros anggaran" tentu alasan itu sangat naif. Saya rasa biaya hampir Rp 100 juta sangat worth it jika melihat berkurangnya eksistensi kapal pencuri ikan, dan tentunya untuk mengembalikan kedaulatan laut di Indonesia, diperlukan "harga" yang tidak murah.

Selain menenggelamkan kapal pencuri ikan, Susi juga pernah membuat kebijakan larangan ekspor benur.

Nah, di antara beberapa kebijakan yang dibuat oleh Susi, ada satu kebijakan yang menurutku sangat vital dan berdampak pada kelangsungan hidup nelayan kecil di Indonesia, yaitu aturan tentang Pembatasan Ukuran Kapal.

Aturan Pembatasan Ukuran Kapal

Surat Edaran Nomor B.1234/DJPT/Pl.410/D4/31/12/2015 tentang pembatasan ukuran GT kapal, dicabut dan diganti dengan Surat Edaran Nomor B.416/DJPT/Pl.410/IX/2020 yang mengizinkan kembali kapal di atas 150 GT untuk beroperasi di wilayah ZEE. Pencabutan aturan itu tentu sangat merugikan nelayan kecil, di mana para nelayan kecil dengan GT <30 hanya bisa mengais sisa ikan dari kapal besar (industri).

Ketika Saya sedang melakukan riset kemiskinan di Kota Pekalongan, nelayan kecil sangat mengeluhkan adanya monopoli yang dilakukan oleh kapal industri, sehingga membuat para nelayan kecil tidak bisa membeli solar subsidi. Coba bayangkan, untuk mendapatkan solar bersubsidi saja mereka susah, bagaimana mereka bisa bersaing dengan kapal besar GT di atas 150?

Nelayan kecil dengan GT 30 sampai 60 di Kelurahan Krapyak Lor Kota Pekalongan sudah pasrah dengan ketidaktersediaan solar subsidi, ditambah adanya monopoli yang dilakukan oleh kapal industri, justru semakin memperparah keadaan nelayan kecil di sana.

Kemiskinan dan Nelayan Kecil

Namanya Pak Ghofur, salah satu nelayan miskin di Gang Piala Kelurahan Krapyak Lor Kota Pekalongan. Beliau bercerita dengan kapal GT 30 miliknya tidak mampu mengcover kebutuhan hidup keluarganya, di mana ia harus mengeluarkan uang sebesar Rp 250.000 hanya untuk membeli solar subsidi, dan jika pada hari H solar itu tidak dibeli maka jatah solar subsidi akan hangus.

Pak Ghofur sering tidak berangkat melaut dikarenakan tidak tersedianya solar subsidi, selain itu, kendala lain yaitu dalam memperbaharui surat rekomendasi untuk membeli solar bersubsidi.

Beliau bercerita bahwa keberadaan kapal industri memperparah hasil tangkapannya, di mana ia hanya bisa mendapatkan "sisa hasil laut" imbas keberadaan kapal besar yang diizinkan kembali operasinya di wilayah ZEE.

Mirisnya, bukan hanya Pak Ghofur saja yang mengalami, selama riset mayoritas nelayan kecil mengeluhkan hal yang sama, dan mereka hanya bisa pasrah saja kepada Yang Maha Kuasa.

Bu Susi, Jangan Jual Harga Diri

Melalui tulisan singkat ini Saya ingin berpesan kepada Bu Susi yang katanya akan menjadi cawapres, janganlah buang profesionalitas dan harga diri demi jabatan. Indonesia membutuhkan sosok tegas seperti Bu Susi, namun yang tidak terikat dengan janji busuk perpolitikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun