Berbicara tentang pengangguran yang ada di Indonesia, tentu permasalahan ini akan dibilang sangat kompleks. Mereka yang mempunyai hambatan dalam mencari pekerjaan bukan hanya yang tidak mengenyam pendidikan formal, namun terjadi juga kepada mereka yang menempun pendidikan formal, bahkan hingga ke perguruan tinggi. Yup, mereka semua mempunyai masalahnya masing-masing. Nah yang jadi pertanyaan, jika yang berpendidikan formal dan yang tidak berpendidikan formal mempunyai masalah yang hampir sama, apakah ada yang salah dengan sistem maupun iklim  dunia kerja yang ada di Indonesia?
Untuk membedah pertanyaan itu, kita diharuskan untuk melihat banyak hal. Dan untuk mendapatkan jawabannya, ada baiknya kita pisahkan dulu mereka yang tidak menempuh pendidikan formal.
Menurut data dari Badan Pusat Statistik per Februari tahun 2021, angka pengangguran di Indonesia mencapai  lebih dari 8,7 juta orang, sedangkan hampir 1 juta di antaranya memiliki gelar Sarjana. Sedangkan per Agustus 2022, setidaknya ada 673 ribu pengangguran dengan gelar Sarjana. Masih menurut Badan Pusat Statistik, per Agustus tahun 2022 ada 7,99 % Sarjana yang menganggur, Diploma sebesar 1,89%, dan sekitar 1,6 juta dari lulusan SLTA.
Para pengangguran tadi mempunyai kendala yang sama dalam mendapatkan pekerjaan, yaitu tentang syarat yang diberikan oleh perusahaan yang tidak dapat mereka penuhi. Misalnya saja seperti pengalaman kerja, Nilai Rata-Rata Ujian Nasional atau IPK, tinggi dan berat badan, riwayat atau catatan berkelakuan baik, hingga sampai syarat seperti wajib memiliki sertfikat dan berasal dari instansi pendidikan berakreditasi minimal A.
Nah, dari syarat-syarat tadi, mari kita kerucutkan ke bagian "Akreditasi".
Sebenarnya, apa sih fungsi dari akreditasi? Akreditasi dinilai sangat penting karena berkaitan dengan kualitas dari sebuah instansi pendidikan atau universitas. Instansi yang memiliki akreditasi A tentu sudah pasti mempunyai standar yang sangat bagus. Entah itu dari kualitas dosen, bahan ajar, kurikulum, maupun dari prestasi mahasiswa itu sendiri.
Namun yang sering dilupakan yaitu, iklim pendidikan di Indonesia sangat erat kaitannya dengan praktek suap hingga perilaku curang ketika mengikuti tes pada Perguruan Tinggi Negeri. Nah dengan adanya fakta barusan tentu akan memunculkan pertanyaan serta spekulasi baru seperti, benarkah kualitas mahasiswa pada PTN terakreditasi A semuanya bagus dan memenuhi standar dunia kerja di Indonesia?
Mengingat adanya praktek suap dan calo untuk masuk ke dalam PTN, tentu akan membuat orang awam berpikir bahwa kualitas mahasiswanya sama saja dengan PTN/PTS berakreditasi B, bahkan bisa juga berada pada level C.
Nah yang menjadi pertanyaan bagi Saya alumni universitas berakreditasi B adalah, kenapa tiap universitas harus memiliki akreditasi? Kenapa tidak disama-ratakan?
Ah, selain alumni akreditasi B, Saya juga seorang alumni SLTA dengan status RSBI atau Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional. Dan, karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945, Mahkhamah Konstitusi menghapuskan status RSBI karena dianggap liberalisasi pendidikan.