Bicara tentang cancel culture berarti berbicara tentang hukum sebab dan akibat, khususnya di media sosial. Namun yang belum banyak diketahui yaitu, dari mana asal istilah itu?
Sekilas Sejarah tentang Cancel Culture
Istilah "cancelling" berawal dari candaan (sindiran), yang kemudian menjadi populer pada kaum Afrika-Amerika di negeri Paman Sam, khususnya di twitter.Â
"Candaan" yang seperti apa? Contohnya, "Kau ku'cancel', Aku sudah tidak tertarik lagi padamu." Candaan seperti inilah yang menjadi cikal bakal cancel culture, karena banyak yang memakainya, akhirnya populer dan menjadi sebuah budaya baru di media sosial.
Seiring berjalannya waktu, candaan itu berubah menjadi budaya yang ditujukan untuk memboikot artis maupun influencer. Contohnya kasus Saipul Jamil, yang bersangkutan mendapatkan cancel culture karena telah berbuat asusila kepada anak di bawah umur.Â
Atas ulahnya itu, SJ diboikot oleh mayoritas masyarakat Indonesia agar tidak lagi muncul di televisi. Pemboikotan itu bisa diartikan sebagai konsekuensi atas perbuatan cabulnya, sehingga cancel culture jika ditempatkan pada kasus SJ, maka tindakan pemboikotan itu sudah tepat.
Peran Cancel Culture
Cancel culture sendiri bisa diartikan sebagai "wajah demokrasi" di sosial media, terutama yang berkaitan dengan isu sosial dalam melawan rasisme, intimidasi, provokasi, hingga berita hoax.
Ya, dalam bersosial media kita tidak hanya membutuhkan hukum yang dibuat oleh Pemerintah. Kita juga membutuhkan hukum kita sendiri dalam bersosial media, maka dari itulah cancel culture sering dimanfaatkan oleh mereka yang berposisi sebagai korban cyber crime untuk menuntut keadilan, atau hanya sekedar berbagi pengalaman buruk di media sosial.
Ketika masyarakat kita sudah tidak lagi percaya dengan instansi kepolisian (biasanya karena kasus tidak ada kejelasan), maka speak up di media sosial-lah yang dijadikan opsi terakhir untuk menuntut keadilan.Â