Mohon tunggu...
Hara Nirankara
Hara Nirankara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis Buku | Digital Creator | Member of Lingkar Kajian Kota Pekalongan -Kadang seperti anak kecil-

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ngabalin Versus Everybody

13 Mei 2021   19:00 Diperbarui: 13 Mei 2021   19:07 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun sayangnya ajakan itu disalahartikan oleh Ali Mochtar Ngabalin yang menganggap bahwa, ajakan boikot oleh Faisal Basri karena ekonom senior itu sudah terpapar paham radikalisme. Bahkan, Ngabalin juga berkata bahwa orang-orang yang mengkritik penonaktifan 75 pegawai KPK adalah orang-orang yang otaknya sungsang.

Di sini rasa heran Saya semakin bertambah, kenapa orang-orang yang tidak sependapat dengan pemerintah selalu dianggap radikal? Padahal seruan boikot dari Faisal mempunyai alasan yang logis dan mempunyai value, beda hal dengan aksi boikot seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang berlandaskan agama pada beberapa bulan yang lalu.

Dalam pernyataannya, Ngabalin mengatakan bahwa orang yang mengkritik tentang TWK adalah orang yang otaknya sungsang. Padahal, setahu Saya tidak ada kaitannya antara wawasan kebangsaan dengan rasa nasionalisme. Orang-orang yang lolos dan menjadi ASN tetap saja membeli produk impor, mulai dari elektronik hingga kebutuhan pokok (dan juga sayuran serta buah-buahan). Mereka yang lolos TWK masih saja menikmati produk impor setiap hari, dan apakah hal itu menunjukan bahwa ybs mempunyai sikap dan rasa nasionalisme?

Seperti yang sudah pernah Saya bahas, mereka yang sering menggunakan bahasa inggris dalam berbicara, belum tentu tidak nasionalis. Mereka yang selalu membeli produk lokal, belum tentu seorang nasionalis. Bahkan, mereka yang sering meneriakkan "NKRI Harga Mati", belum tentu bersedia menjadi yang paling depan barisannya dalam menghadapi KKB di Papua.

Rasa nasionalisme tidak bisa jika hanya diukur dengan "wawasan kebangsaan", karena menurut Saya, orang yang paham dengan sejarah Indonesia (termasuk rasa nasionalisme) belum tentu kompeten dalam bekerja, terutama dalam tubuh KPK.

Korupsi sudah menjadi budaya yang mengakar di Indonesia, dengan kuatnya KPK (sebelum revisi UU) saja masih banyak yang korupsi dan terjaring OTT, apalagi jika KPK semakin lemah? Logika sederhananya, begitu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun